Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin tak terlihat dalam acara resepsi Seabad Hari Lahir Nahdlatul Ulama (NU) di Stadion Delta Gelora Sidoarjo, Jawa Timur pada Selasa (7/2/2023) kemarin.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKB Hasanuddin Wahid menegaskan bahwa Cak Imin sejatinya datang dalam acara resepsi seabad harlah NU tersebut.
Namun, menurutnya, jamaah yang membeludak membuat Cak Imin tak bisa ke dalam panggung utama di Stadion Delta Gelora Sidoarjo.
"Wong macet semuanya begitu kan tidak semuanya bisa nyampe di panggung. Saya bersama kiai-kiai di luar. Nggak bisa masuk," ujar Hasanuddin saat ditemui seusai pertemuan Ketum PKB Cak Imin dengan Ketum Golkar Airlangga Hartarto di kawasan Istora Senayan, Jakarta, Jumat (10/2/2023).
Baca juga: Cak Imin Bungkam Ditanya Alasan Tak Terlihat saat Harlah 1 Abad NU di Sidoarjo
Karena itu, Hasanuddin kembali menegaskan Cak Imin dipastikan datang dalam acara harlah seabad NU lantaran ketua umumnya itu juga merupakan warga nahyidin.
"Iya (datang). Aman, wong kita kan nahyidin," jelasnya.
Sementara itu, Cak Imin memilih bungkam saat ditanya tak terlihat dalam acara harlah seabad NU di Stadion Delta Gelora Sidoarjo.
"Nanti, nanti ya," ujarnya.
Sebagai informasi, Cak Imin tidak terlihat selama acara resepsi seabad harlah NU.
Padahal, sejumlah petinggi negara maupun petinggi partai politik hadir dalam kegiatan tersebut.
Dalam acara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden RI Maruf Amin terlihat turut menghadiri acara tersebut.
Tak hanya itu, sejumlah mantan petinggi negara dan petinggi partai politik pun hadir di acara tersebut.
Di antaranya, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan sejumlah menteri kabinet kerja Jokowi.
Baca juga: Sukses Gelar Harlah Ke-100 NU, Erick Thohir dapat Dukungan dari Presiden Jokowi
NU Tidak Mau Berpolitik
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya mengatakan akan tetap terus menegaskan larangan Nahdlatul Ulama (NU) dicatut dalam kontestasi politik.
Hal tersebut disampaikannya menjawab pertanyaan bagaimana jika ke depan khususnya di tahun politik akan ada pihak-pihak nakal yang tetap mencatut NU untuk kepentingan politik praktis.
Hal tersebut disampaikan Gus Yahya usai dialog bersama Pemred Media Massa Nasional di kantor PBNU Jakarta Pusat pada Rabu (1/2/2023).
"Ya kita bolak balik tegaskan, bahwa tidak boleh dicatut NU ini," kata Gus Yahya.
"Dalam bahasa saya tidak ada calon presiden, atau wapres, calon bupati, atau calon gubernur, atau calon DPR atas nama NU, tidak ada," sambung dia.
Apabila nantinya ada warga NU yang ikut dalam kontestasi politik sebagai calon maka, lanjut Gus Yahya, orang tersebut melakukannya atas nama kredibilitas, track record, kapasitas, dan prestasinya sendiri, bukan atas nama NU.
Ia pun berharap masyarakat bisa menumbuhkan dinamika pokitik yang lebih rasional ke depannya.
"Kita berharap bahwa masyarakat kita bisa menumbuhkan dinamika politik yang lebih rasional di tengah masyarakat ini," kata dia.
Sebelumnya saat berdialog dengan sejumlah pimpinan redaksi media massa nasional, Gus Yahya mengungkapkan setidaknya dua alasan mengapa NU dilarang terlibat sebagai pihak dalam kontestasi politik.
Pertama, kata dia, adalah besarnya jumlah konstituen NU yang akan membuat kompetisi menjadi tidak adil.
Ia pun mencontohkan sejumlah negara yang mengeksploitasi identitas sebagai senjata politik di antaranya India, Nigeria, dan Irak.
"Ini karena identitas dieksploitasi sebagai senjata politik. Dan NU itu sudah menjadi identitas kelompok sekarang kan. Tidak boleh dieksploitasi sebagai senjata politik. Itu salah," kata Gud Yahya.
Kedua, kata dia, hal tersebut merupakan keputusan Muktamar ke-27 NU tahun1984 di Sidoarjo yang menyatakan NU berlepas diri dari politik praktis.
Menurutnya masyarakat boleh berdebat soal perlu atau tidaknya NU terlibat politik praktis.
Namun demikian, perdebatan tersebut sudah lewat dan NU sudah mengambil sikap dalam muktamar tersebut.
"Ini semua sekarang tinggal bagaimana kita mengoperasionalisasikan wawasan ini ke dalam praktik," kata Gus Yahya.
Lebih jauh, ia menjelaskan politik praktis yang dimaksud meruoakan terminologi Orde Baru yang artinya adalah politik kekuasaan.
NU, kata dia, tidak boleh hadir sebagai pihak dalam kompetisi politik atau kompetisi kekuasaan, dalam bentuk apapun melainkan harus mampu hadir sebagai penyangga keutuhan masyarakat.
"Itu sebabnya tadi saya katakan kalau ada hal-hal yang merupakan aspirasi yang harus disampaikan kepada struktur politik, pemerintah, DPR, atau yang lain maka NU akan melakukannya melalui saluran-saluran yang tidak menimbulkan akibat memposisikan NU sebagai kubu kekuasaan, kubu politik," kata Gus Yahya.
"Kalau NU membuat artikulasi publik tentang masalah-masalah yang menyangkut politik tujannya harus tujuan pendidikan, tidak boleh yang lain, tidak boleh semacam membuat tekanan politik, tekanan power kepada pihak manapun, tidak bisa. Karena NU bukan pihak dalam soal ini," sambung dia.