TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bangsa Indonesia tidak lagi menjadi bangsa yang mampu menjujung tinggi harkat dan martabat manusia, bila membiarkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tidak menjadi undang-undang.
"Tidak ada lagi alasan mendasar untuk menunda pembahasan RUU PPRT, selain segera melanjutkan dan mengesahkannya menjadi undang-undang. Saat ini kita seperti menutup mata terhadap kekerasan yang terjadi terhadap pekerja rumah tangga," kata Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Mengapa RUU PPRT Tak Kunjung Menjadi UU? yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (15/2/2023).
Sepanjang 2017-2022, menurut Lestari, Jala PRT mencatat setidaknya 2.637 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) seperti kekerasan ekonomi (tidak digaji), kekerasan psikis, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual.
Menurut Rerie sapaan akrab Lestari, dalam konteks permasalahan yang dihadapi para pekerja rumah tangga, seharusnya terdapat ikatan kesetaraan yang meniadakan dominasi sosial antara pemberi dan penerima kerja.
Selain hak dan kewajiban tersebut, ujarnya, terdapat kebutuhan yang paling mendasar yakni saling melindungi antara pemberi kerja dan PRT, sesuai yang diamanatkan oleh konstitusi.
Baca juga: Sepanjang 2017-2022 Terjadi 2.637 Kasus Kekerasan, Partai Buruh Minta RUU PPRT Segera Disahkan
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu menilai ditunda-tundanya pembahasan RUU PPRT oleh pimpinan DPR merupakan keprihatinan bersama sekaligus tamparan bagi kita semua bahwa perjuangan selama 19 tahun belum bisa terwujud hingga saat ini.
Sebagai informasi, diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Willy Aditya (Ketua Panja RUU PPRT-DPR RI), Brian Sriprahastuti, (Tenaga Ahli Utama, Kantor Staf Presiden RI), hingga Atnike Nova Sigiro (Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia/Komnas HAM).
Ketua Panja RUU PPRT DPR RI, Willy Aditya mengungkapkan problem krusial yang dihadapi dalam proses pembahasan RUU PPRT saat ini berada pada pimpinan DPR.
Respon Ketua DPR RI yang menyebutkan bahwa RUU PPRT itu masih memerlukan kajian secara socio cultural, menurut Willy, merupakan tanggapan yang tidak tepat karena di dalam RUU PPRT itu sudah mencakup pengaturan aspek socio cultural.
Baca juga: Sudah Mendesak, Cak Imin Minta Sekjen DPR Agendakan Pengesahan RUU PPRT
"Saya kira ini karena pimpinan belum membaca isi RUU PPRT," ujarnya.
Willy mengaku sudah tiga kali meminta audiensi kepada Ketua DPR RI untuk menjelaskan sejumlah substansi dalam RUU PPRT itu, tetapi hingga saat ini permintaan itu tidak ditanggapi.
Salah satu upaya untuk mendorong agar pimpinan DPR segera mengagendakan Sidang Paripurna untuk mengesahkan RUU PPRT menjadi usulan inisiatif DPR, menurut Willy, bisa melalui dugaan pelanggaran tata tertib DPR yang dilakukan Ketua DPR.
Menurut Willy, Ketua DPR bisa diajukan ke MKD karena melanggar tata tertib DPR lewat dugaan pengabaian hasil kajian alat kelengkapan dewan.
Baca juga: RUU PPRT 19 Tahun Tak Kunjung Disahkan, Serikat Buruh NU Berikan 7 Tuntutan
Sementara Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro menegaskan bahwa pihaknya turut mendukung percepatan pembahasan RUU PPRT.