TRIBUNNEWS.COM - Sosok terpidana mati kasus narkotika jenis heroin, Merry Utami bisa bernafas lega.
Hal ini lantaran Presiden Joko Widodo mengabulkan grasi yang telah diajukan sejak tahun 2016 lalu.
Dikutip dari laman Institue for Criminal Justice Reform (ICJR), kuasa hukum Merry Utami, Aisyah Humaida, menyampaikan bahwa kliennya telah memperoleh grasi dari Presiden Jokowi pada 24 Maret 2023 lalu.
Adapun grasi tersebut, mengubah hukuman yang dijatuhkan terhadap Merri Utami dari hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup.
"Keputusan Presiden Nomor 1/G/2023 ini mengubah pidana mati Merri Utami menjadi pidana seumur hidup," demikian tertulis dalam publikasi ICJR.
Dengan keputusan ini, penantian panjang selama 22 tahun oleh Merri Utami terbayarkan sudah lantaran dirinya tidak jadi dihukum mati.
Baca juga: Merry Utami dapat Grasi dari Presiden Jokowi, Kini Lolos dari Hukuman Mati
Lalu bagaimana awal kasus yang menimpa Merri Utami ini hingga dirinya harus divonis hukuman mati?
Mengenal Lelaki yang Ingin Nikahi, Berujung Dijebak
Dikutip dari Kompas TV, awal kasus Merry Utami berawal ketika dirinya kenal dengan seorang lelaki yang mengaku berkebangsaan Kanada, Jerry pada medio tahun 2001.
Bahkan, Jerry sampai berjanji ingin menikahi Merry Utami.
Namun nyatanya, janji Jerry hanya manis di bibir saja.
Justru, perkenalan Merri Utamy dengan Jerry berujung petaka.
Petaka itu berawal ketika Merry Utami diminta Jerry untuk membawa sebuah tas dari Nepal ke Indonesia.
Nyatanya, tas tersebut berisi 1,1 kilogram heroin.
Baca juga: Amnesty International Indonesia: Grasi Merry Utami Harus Jadi Awal Moratorium Hukuman Mati
Hanya saja, saat menerima tas tersebut, Merry Utami tidak menaruh curiga.
Alhasil, saat dia masuk ke Bandara Soekarno Hatta, Merry Utami tetap tenang dan melenggang pulang.
Namun, hari itu menjadi awal petaka bagi Merry Utami.
Pada 31 Oktober 2001, hari itu, petugas menemukan narkoba jenis heroin di dalam tas yang dibawa Merri.
Imbasnya, ia pun ditangkap.
Diadili Mei 2002, Divonis Mati
Singkat cerita, Merry pun menjalani rangkaian persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada Mei 2002.
Hakim pun memvonis Merry dengan hukuman mati yang sesuai tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
Tak terima dengan vonis yang dijatuhkan, Merry Utami pun mengajukan banding.
Namun, banding tersebut ditolak oleh Pengadilan Tinggi (PT) Tangerang.
Tak menyerah, Merry pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) tapi hasilnya tetap nihil.
Kasasi Merry pun tetap ditolak leh MA.
Sempat Mau Dieksekusi 2016 tapi Batal
Banding dan kasasi Merry yang ditolak itu pun membuat dirinya menunggu selama hampir 14 tahun untuk dieksekusi mati.
Hal itu terjadi ketika rezim berpindah tangan dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Jokowi.
Pada saat itu, tahun 2015, Jokowi menggemborkan akan mengeksekusi mati para bandar narkoba.
Menko Polhukam saat itu, Tedjo Edhy Purdijatno pun memastikan segera melaksanakan eksekusi terhadap beberapa terpidana mati.
Namun, Tedjo mengungkapkan Presiden Jokowi memprioritaskan hukuman mati pada bagi terpidana kasus narkoba.
"Jadi begini, Bapak Presiden kita menghendaki narkoba dulu, karena inilah yang mengancam generasi muda kita," kata Tedjo kepada awak media usai bersilaturahmi ke rumah dinas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly di kawasan Mega Kuningan, Jakarta pada 3 Januari 2015.
Baca juga: Komnas HAM Harap Jokowi Kabulkan Grasi Untuk Terpidana Mati Merry Utami
Lebih dari satu tahun berselang, tepatnya pada Juli 2016, pemerintah mengumumkan adanya 14 terpidana kasus narkoba yang akan dieksekusi.
Namun, di penghujung waktu, 10 terpidana justru batal diekseksusi dan salah satunya adalah Merry Utami.
Padahal sebelum diekseksusi mati, Merry hanya bisa berdoa dan meminta pendampingan rohaniawan.
Di sisi lain, pada saat yang sama, pengacara Merry juga telah mengajukan grasi.
Padahal menurut UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi menjelaskan bahwa terpidana mati yang mengajukan grasi tidak dapat dieksekusi hingga diterimanya keputusan dari Presiden.
Merry Alami Trauma Imbas Penantian Panjang Menuju Eksekusi
Kisah Merry yang menanti kapan dirinya dieksekusi mati membuat trauma dirinya selama hampir puluhan tahun berada di dalam sel.
Terpisah, anak Merry, Devi menyempatkan diri mendatangi Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 21 September 2016 untuk menjelaskan bahwa kondisi sang ibu mengalami trauma.
"Kalau untuk ibu saya sangat memprihatinkan keadaannya. Trauma psikologisnya benar-benar yang setiap malam tidak bisa tidur, trauma dengar suara buka pintu," ujar Devi di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta pada 21 September 2016.
Baca juga: Perjalanan Terpidana Mati Kasus Narkoba Merry Utami, Kini Ada Petisi Minta Jokowi Kabulkan Grasi
Tak hanya kondisi psikologis, Devi juga menyebut Merry menderita asam lambung dan darah tinggi yang kerap kumat.
Pasca eksekusi terhadapnya dibatalkan, Merry pun mengisi hari-harinya di LP Kelas II A Perempuan Semarang dengan kegiatan menjahit.
7 Tahun Menanti, Grasi Dikabulkan Jokowi
Merry pun masih harus menanti grasi yang dimohonkan ke Jokowi agar segera diputuskan.
Nasib baik Merry, penantian tujuh tahun sejak permohonan grasi diajukan pada tahun 2016 berujung pengabulan oleh Jokowi.
Dengan dikabulkannya permohonan grasi tersebut, hukuman terhadap Merry diubah dari hukuman mati menjadi penjara seumur hidup.
Sebelum dikabulkan, Merry pun hanya berharap agar di sisa umurnya dapat berkumpul dengan anak dan cucunya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Kompas TV/Iman Firdaus/Fransisca Natalia)
Artikel lain terkait Merry Utami Diberi Grasi oleh Jokowi