TRIBUNNEWS.COM - Komisi Yudisial (KY) mengagendakan memanggil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Liliek Prisbawono Adi, pada Senin (29/5/2023) terkait putusan penundaan pemilu dengan penggugat dari Partai Prima.
"Komisi Yudisial hari ini memanggil Ketua Pengaadilan Negeri Jakarta Pusat untuk dimintai keterangannya terkait putusan (partai) Prima melawan Komisi Pemilihan Umum."
"Perkara keperdataan ini sering disebut sebagai putusan penundaan Pemilu," kata Juru Bicara KY, Miko Ginting, dalam keterangan tertulis.
Namun, Miko mengungkapkan Liliek tidak bisa memenuhi panggilan tersebut karena ada agenda lain.
"Namun, hari ini Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberitahukan bahwa beliau tidak dapat hadir karena ada agenda."
"Pemanggilan ulang akan segera dilakukan karena nilai informasi yang ingin dimintakan sangat penting untuk membuat terangnya perkara ini," katanya.
Baca juga: MK Tolak Hapus Frasa Gangguan Lainnya Dalam UU Pemilu yang Dinilai Dapat Tunda Pemilu 2024
Miko pun mengatakan Liliek akan dipanggil ulang pada Selasa (30/5/2023) dan diharapkan dapat memenuhi panggilan tersebut.
"Pemanggilan terhadap Majelis Hakim akan dilakukan besok hari. Komisi Yudisial berharap para Majelis Hakim dapat hadir memenuhi pemanggilan tersebut," jelasnya.
Dia mengatakan pemanggilan Liliek dalam rangka penelusuran terkait ada atau tidaknya pelanggaran kode etik hakim.
"Pemanggilan dan penggalian keterangan ini dilakukan dalam rangka penelusuran ada atau tidaknya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku hakim (KEPPH), area yang menjadi domain Komisi Yudisial," tandasnya.
Sebelumnya, PN Jakarta Pusat telah mengabulkan gugatan Ketua Umum Partai Prima, Agus Jabo Priyono dan Dominggus Oktavianus Tobu Kiik lantaran dianggap KPU telah merugikan Partai Prima dalam verifikasi administrasi untuk Pemilu 2024.
Gugatan tersebut tertulis dalam salah satu petitum penggugat dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat.
Selain itu dalam petitum lain, penggugat juga meminta ganti rugi kepada KPU sebesar Rp 500 juta lantaran dianggap telah melakukan PMH.
Tak hanya itu, penggugat juga meminta agar KPU tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024.