Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa pemilu era sekarang tak bedanya dengan pemilu era orde baru, yakni sama-sama diwarnai kecurangan.
"Sehingga saya katakan, pemilu di era sekarang ini sama dengan era orde baru. Sama-sama diwarnai kecurangan," kata Mahfud dalam rapat jaga stabilitas politik Pemilu 2024, disiarkan langsung Youtube Kompas TV, Senin (29/5/2023).
Bedanya lanjut Mahfud, kecurangan pemilu di era orde baru bersifat vertikal yakni bersumber dari pemerintah melalui Mendagri yang bisa menentukan pemenang pemilu, pejabat di tingkat provinsi, kabupaten/kota.
"Cuma bedanya, di masa orde baru kecurangannya bersifat vertikal. Yang melakukan pemerintah, lembaga pemilu itu Mendagri, ABG dulu namanya yang menentukan pemenang pemilu. ABG (itu) Abri, Birokrasi, Golkar. Dulu kecurangannya diatur dari situ. Tapi sesudah reformasi, dibuat lembaga pemilu sendiri namanya KPU yang menurut konstitusi bukan bagian dari pemerintah," jelas Mahfud.
KPU pun dilahirkan sebagai lembaga yang punya tugas menyelenggarakan pemilu, serta berdasarkan konstitusi bukan bagian dari pemerintah. Tujuan pembentukan KPU kata Mahfud, diharapkan kecurangan vertikal seperti yang terjadi pada masa orde baru tak lagi terjadi.
Namun era orde saat ini, menurutnya pemilu tetap curang. Hanya saja dijelaskan eks Ketua MK periode 2008-2013 ini, bentuk kecurangannya bersifat horizontal yakni antar partai politik, seperti pengambilan suara partai lain, hingga jual beli suara antar partai politik.
Baca juga: Mahfud MD: Tak Perlu Risaukan Apapun Sistem Pemilu yang Diputus MK
"Sekarang ini kok masih ada curang, iya masih ada curang, yakin? Yakin. Karena saya hakim MK mengadili pemilu ini tahu kecurangan di mana - mana," ungkapnya.
"Tetapi beda, sekarang kecurangan bersifat horizontal. Partai ini mencurangi partai ini, yang digugat KPU. Partai ini membeli suaranya partai ini, orang gugatnya KPU. Itu banyak," lanjut Mahfud.
Mahfud sendiri mengakui berdasarkan pengalamannya menjabat Ketua MK dan menangani sengketa hasil pemilu, kerap terjadi kecurangan pada tingkat desa. Utamanya ketika kotak dan surat suara dikirim dari TPS ke kecamatan maupun kabupaten.
Dalam proses pengiriman kotak dan surat suara dari TPS itu kata Mahfud, terjadi praktik tukar menukar dan jual beli suara di lapangan.
"Di tingkat desa, rawannya itu nanti ketika pengiriman dari TPS masuk ke kecamatan, kabupaten. Biasanya berdasarkan pengalaman saya sebagai hakim MK, memang kadangkala terjadi tukar menukar dan jual beli suara dalam proses ini," pungkas Mahfud.