TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, mengatakan bahwa tidak boleh ada satupun lembaga yang menolak dipanggil Ombudsman RI.
Hal itu disampaikan Feri merespons soal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menolak diklarifikasi Ombudsman mengenai laporan dugaan maladministrasi pencopotan Brigjen Pol Endar Priantoro sebagai Direktur Penyelidikan KPK.
"Tidak ada satu lembagapun yang boleh menolak dipanggil Ombudsman, karena ada konsekuensi dipanggil paksa kan," kata Feri kepada Tribunnews.com, Rabu (31/5/2023).
Feri menilai KPK sedang ketakutan, makanya memilih menghindari panggilan Ombudsman.
Pasalnya, KPK pernah dipanggil Ombudsman terkait pelanggaran maladministrasi mekanisme Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang akhirnya menyingkirkan 57 pegawai KPK pada 2021 silam.
"Saya pikir karena KPK ketakutan ya bahwa dalam peristiwa TWK dan lain-lain mereka tidak sesuai prosedur tata kelola pemerintahan yan baik, dan itu tentu saja akan berdampak kepada kebijakan-kebijakan KPK yang salah di kemudian hari," kata Feri.
Baca juga: Firli Bahuri dan Sekjen KPK Tolak Panggilan Ombudsman, Pakar: Bisa Dilakukan Pemanggilan Paksa
Sebelumnya, KPK menjelaskan keberatannya terkait pengklarifikasian pencopotan Brigjen Pol Endar Priantoro sebagai Direktur Penyelidikan ke Ombudsman RI.
Sekretaris Jenderal KPK Cahya Hardianto Harefa menerangkan bahwa substansi yang hendak diklarifikasi tidak termasuk dalam ranah pelayanan publik.
"Atas permintaan klarifikasi oleh Ombudsman kepada KPK tidak bisa dipenuhi, karena substansi yang hendak diklarifikasi tidak termasuk dalam ranah pelayanan publik yang merupakan kewenangan Ombudsman," kata Cahya dalam keterangannya, Selasa (30/5/2023).
"Namun berdasarkan ketentuan perundangan tersebut, pengujian persoalan kepegawaian lebih tepat ranahnya di PTUN," imbuhnya.
Di sisi lain, KPK menghormati proses yang tengah berlangsung di Ombudsman terkait laporan Brigjen Endar.
Namun, kata Cahya, seluruh proses rekrutmen, pengembangan karier, hingga purna tugas seorang pegawai merupakan bagian dari manajemen ke-SDM-an dalam suatu organisasi.
"Demikian halnya pada proses pemberhentian Saudara Endar Priantoro sebagai Direktur Penyelidikan KPK yang telah selesai masa tugasnya adalah ranah manajemen ke-SDM-an di KPK, bukan pelayanan publik," jelas Cahya.
Cahya menjelaskan, sebagaimana disebut dalam UU Nomor 25 Tahun 2009, pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Oleh karenanya, penyelesaian persoalan Brigjen Endar memedomani hukum administrasi kepegawaian ataupun administrasi pemerintahan sesuai UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang bermuara pada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan di Ombudsman.
"Dalam mekanismenya, keputusan KPK ini diuji berdasarkan aspek wewenang, substansi, maupun prosedur. Apakah terdapat penyalahgunaan wewenang (maladministrasi) baik ditinjau dari peraturan perundang-undangan maupun asas umum pemerintahan yang baik (AUPB)," kata Cahya.
Diberitakan, Ombudsman mendapatkan sejumlah kendala dalam proses pemeriksaan dugaan maladministrasi dalam pencopotan Brigjen Endar Priantoro sebagai Direktur Penyelidikan KPK.
Salah satu kendala itu adalah KPK yang menolak diperiksa oleh lembaganya.
“Kami mendapatkan surat jawaban yang buat kami sungguh mengagetkan,” kata Komisioner Ombudsman RI Robert Endi Na Endi Jaweng di kantornya pada Selasa (30/5/2023).
Endi mengatakan lembaganya menerima laporan dari Endar pada pertengahan April 2023.
Endar melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri, Sekretaris Jenderal KPK Cahya Harefa, dan Kepala Biro SDM KPK atas pencopotannya sebagai Direktur Penyelidikan KPK.
Endar menganggap pencopotan itu adalah tindakan maladministratif.
Menurut Endi, Ombudsman melakukan pemeriksaan awal.
Dari pemeriksaan itu, Ombudsman menyimpulkan bahwa laporan Endar masuk dalam kewenangan Ombudsman.
Sehingga Ombudsman melanjutkan laporan ini ke tahap pemeriksaan.
Pemeriksaan yang dilakukan Ombudsman awalnya berjalan mulus. Endar sebagai terlapor sudah diperiksa.
Begitu pun pihak Polri juga bersedia diperiksa oleh Ombudsman.
Akan tetapi, kendala itu muncul ketika Ombudsman mulai melakukan pemanggilan terhadap KPK.
Endi mengatakan Ombudsman mengirimkan surat panggilan terhadap Ketua KPK Firli Bahuri pada 11 Mei 2023.
Firli membalas surat itu pada 17 Mei 2023 dengan menyatakan menghormati proses pemeriksaan, tetapi meminta waktu.
Pada hari yang sama, 11 Mei 2023, Ombudsman juga mengirimkan surat panggilan kepada Sekjen KPK Cahya Harefa.
Atas panggilan kedua itu, KPK kemudian mengirimkan surat balasan pada 22 Mei 2023.
Endi menyebut balasan dari KPK inilah yang membuatnya terkejut.
Pasalnya, bukannya menjawab panggilan Ombudsman, KPK justru mempertanyakan kewenangan lembaganya untuk memeriksa laporan Endar.
“Buat kami ini mengagetkan karena justru mempertanyakan hal yang sifatnya terkait kewenangan dan atas masalah yang belum kami tanyakan,” kata dia.
Baca juga: Firli Bahuri dan Sekjen KPK Tolak Panggilan Ombudsman, Pakar: Harusnya Pejabat Patuhi Hukum
Atas jawaban KPK itu, Endi mengatakan lembaganya tidak memberikan surat jawaban.
Akan tetapi, pada hari yang sama Ombudsman kembali mengirimkan surat panggilan terhadap Cahya yang isinya menegaskan kembali wewenangnya untuk memeriksa laporan Endar.
“Tentu kami tidak menjawab surat itu karena ini bukan berbalas pantun surat dijawab surat,” kata dia.
Menurut Endi, pemeriksaan Ombudsman terhadap Cahya Harefa itu seharusnya dilakukan pada Senin, 29 Mei 2023.
Akan tetapi, bukannya memenuhi panggilan, KPK justru kembali mengirimkan surat.
Mengutip surat tersebut, Endi mengatakan KPK kembali mempertanyakan kewenangan Ombudsman dan kembali menyatakan secara kelembagaan KPK tidak akan hadir dalam panggilan Ombudsman.
“Ini lebih luar biasa lagi, ada ada lembaga yang memberikan pandangan yang intinya agar ombudsman tidak kemudian jatuh pada penyalahgunaan wewenang,” ujar Endi.
Endi mengatakan apabila KPK tidak juga memberikan jawaban setelah tiga kali dipanggil, maka Ombudsman memiliki dua opsi.
Opsi pertama, kata dia, adalah Ombudsman dapat menganggap KPK tidak menggunakan haknya untuk memberikan klarifikasi terhadap laporan yang ditangani lembaganya.
Opsi kedua, kata dia, Ombudsman dapat melakukan panggilan paksa dengan bantuan polisi untuk menghadirkan pihak terlapor dalam laporan yang sedang ditangani.
“Ombudsman bisa menghadirkan dan berwenang menghadirkan terlapor secara paksa dengan bantuan dari kepolisian, ketika kami melihat ada unsur kesengajaan apalagi secara terang benderang menyampaikan arguementasi yang justru mempertanyakan kewenangan Ombudsman,” katanya.