Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia (UI) Valina Singka Subekti menyebut proses Pemilu 2024 mengalami kemunduran.
Hal ini lantaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI selaku penyelenggara pemilu dinilai sudah tidak lagi menjadi lembaga yang independen dan berintegritas dalam hal melakukan tindak lanjut atas Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 tahun 2023 yang dinilai mencederai keterwakilan perempuan dalam pemilu.
Hal itu disampaikan Valina saat menjadi narasumber dalam diskusi daring ‘Memaknai Keterwakilan Perempuan 30 persen Mendorong Putusan MA Berkeadilan Gender’, Jumat (9/6/2023).
“Artinya ada kemunduran dalam proses penyelenggaran pemilu kita dan mungkin ini juga benar yang dikatakan berbagai survei, demokrasi kita alami kemunduran. Mengalami regresi,” kata Vallina.
Kemunduran ini, lanjut Valina, dapat terlihat dari hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) penyelenggara pemilu dengan DPR beberapa waktu lalu saat berkonsultasi soal PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
Baca juga: PKPU Soal Keterwakilan Perempuan Digugat ke MA, KPU: Kita Hormati Hak Hukum Warga Negara
Di mana hasil dari RDP tersebut yang sifatnya konsultasi, justru dituruti KPU dengan tidak melakukan revisi terhadap PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
“Mestinya anggota KPU, Pasal 22 E, termasuk hasil putusan MK (Mahkamah Konstitusi) uji materi mengenai konsultasi mengikat dan tidak mengikat, itu sudah tidak mengikat, konsultasi KPU kepada DPR dalam RDP,” katanya.
“Kalau penyelenggara pemilu itu benar-benar jaga integrity dan memperhatikan prinsip kode etik pemilu, kalau mereka mandiri kalau mereka independen itu mestinya mereka mesti berani mengatakan ini harus direvisi,” lanjut Valina.
Baca juga: Putuskan Tak Revisi PKPU 10/2023, BEM UI Sebut DPR Tidak Pernah Bosan Khianati Rakyat
Polemik soal PKPU Nomor 10 tahun 2023 ini masih terus berlanjut.
Terbaru, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melakukan judicial review atau uji materi terhadap PKPU 10/2023 ke Mahkamah Agung (MA).
Fadli Ramadhanil, selaku kuasa hukum koalisi, menjelaskan pihaknya meminta MA untuk menyatakan Pasal 8 Ayat 2 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pihak koalisi juga juga meminta untuk ketentuan Pasal 8 Ayat 2 PKPU 10/2023 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas.
Baca juga: Soal PKPU Caleg Eks Koruptor, ICW Bakal Surati Ketua MK Anwar Usman
Sehingga, pasal a quo selengkapnya berbunyi: Pasal 8 Ayat 2: Dalam hal penghitungan 30 persen (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas.
Permohonan yang diajukan ini diwakili oleh lima pemohon yang terdiri dari dua badan hukum privat dan tiga perseorangan yakni Perludem, Koalisi Perempuan Indonesia, Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib.
Sebagai informasi, 17 April 2023 KPU telah menetapkan PKPU No 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Salah satu klausul dalam PKPU tersebut, yaitu Pasal 8 ayat (2) huruf b, mengatur:
Dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah Bakal Calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai:
a. kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau
b. 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.