TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) akan menanggapi pernyataan eks Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana yang mengeklaim mendapatkan informasi tepercaya soal putusan MK berkaitan dengan sistem pemilu.
Pihak MK menyebut, pernyataan Denny pada 28 Mei 2023 itu berpengaruh buruk terhadap kepercayaan publik kepada MK.
"Bagi Mahkamah Konstitusi, pemberitaan, opini, pernyataan, unggahan, dan/atau cuitan tersebut berpotensi dan bahkan telah menimbulkan pandangan negatif yang berdampak langsung pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses persidangan dan putusan Mahkamah Konstitusi," bunyi keterangan resmi MK yang disampaikan, Rabu (14/6/2023).
Kini, MK sudah siap membacakan putusannya pada Kamis (15/6/2023). Majelis hakim konstitusi telah menggelar RPH.
Menanggapi rencana konpers MK besok yang khusus didedikasikan menanggapi pernyataannya, Denny Indrayana angkat suara.
"Izin saya kutip ulang rilis halaman 2 (dua) saya kemarin Selasa lalu. Saya ingin tegaskan, apapun putusan MK kamis lusa (besok) semoga dapat menguatkan sistem pemilu kita, dan tidak menjadi bagian dari strategi pemenangan Pemilu 2024 untuk sekelompok kekuatan politik semata," ujarnya, Rabu (14/6/2023).
"Kita tentu mendorong MK yang tetap independen, termasuk dalam memutus perkara yang sarat kepentingan politik termasuk soal pemilu, antikorupsi dan sejenisnya, atau disebut political question cases."
Menurut Denny, dirinya terpaksa mengkritisi, bahwa putusan MK yang terakhir, terkait perpanjangan satu tahun masa jabatan pimpinan KPK, sarat dengan aroma kuat strategi Pilpres 2024; yaitu Ketika KPK masih diperlukan dalam manajemen pilah-pilih perkara, mana kasus yang dipetieskan karena berkait dengan kawan koalisi, serta mana kasus yang diangkat karena menyangkut dengan lawan oposisi.
"Saya menghormati MK, dan karenanya menyampaikan sikap dan pandangan kritis, termasuk melakukan pengawalan lewat kampanye publik (public campaign) dan kampanye media (media campaign)," katanya.
"Rasa hormat tidak selalu harus diwujudkan dengan puja-puji yang menghanyutkan, tetapi bisa pula dengan teguran sayang yang mengingatkan. Meskipun, saya sangat mengerti pengawalan kritis demikian rawan disalahpahami sebagai bentuk intervensi, dan karenanya mudah dijerat dengan delik pidana, atau kriminalisasi."
Denny mengaku memahami, Pertimbangan 3.19 Putusan MK Nomor 1—2/PUU-XII/2014, dalam pengujian UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang penetapan perppu MK, pasca ditangkapnya Ketua MK Akil Mochtar, karena kasus tindak pidana korupsi.
Dalam pertimbangan tersebut, MK mengklasifikasikan setiap tekanan kepada hakim, termasuk tekanan publik sebagai gangguan terhadap prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman, dan dapat diketagorikan sebagai contempt of court.
"Namun, izin saya menyampaikan pandangan, pertimbangan demikian hanya tepat jika sistem penegakan hukum kita juga sudah ideal dan jauh dari praktik koruptif peradilan. Ketika semua penegak hukum menjunjung etika profesionalitas dan integritas melawan praktik mafia peradilan. "
"Namun, di saat sekarang, ketika masih ada oknum di Mahkamah Agung yang terjerat kasus mafia hukum dan tengah berkasus di KPK; ataupun MK pun pernah punya noda hitam kasus korupsi yang menjerat Ketua dan Hakim konstitusinya, maka salah satu jaring pengaman yang justru harus dilakukan adalah mendorong kuatnya kepentingan dan kontrol publik (public control)," ujarnya.
Kontrol melalui penyampaian pendapat semestinya dilihat sebagai bentuk partisipasi publik yang bermakna (meaningful public participation), untuk menjaga agar MK tidak masuk ke dalam pusaran politik praktis, termasuk ke dalam jebakan strategi pemenangan Pileg dan Pilpres 2024.
"Karena, berbeda dengan kekuatan politik dan oligarki-bisnis, yang bisa menggunakan tangan besi kekuasaan dan tumpukan dana untuk menggoda oknum hakim di peradilan, rakyat biasa seperti kita hanya punya suara untuk bicara, dan pendapat untuk disampaikan, terkadang memang secara lantang demi untuk menjaga agar keadilan tidak dijadikan komoditas transaksi politik ataupun diperjualbelikan."