TRIBUNNEWS.COM - Eks Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Denny Indrayana masih meyakini informasi soal putusan Mahkamah Konstitusi yakni Pemilu 2024 digelar dengan sistem proporsional tertutup yang sempat dilontarkannya akurat.
Selain itu, Denny mengatakan putusan baru berubah ketika gugatan uji materil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi sorotan.
"Jadi kemungkinannya bukan tidak akurat informasinya tetapi memang ada perubahan, pergerseran berbeda informasi di akhir Mei dengan putusan 15 Juni," kata Denny dalam program Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Kamis (15/6/2023).
Denny pun mengapresiasi putusan MK yang menolak gugatan sehingga pemilu tetap digelar dengan sistem proporsional terbuka.
"Saya khawatir kalau (sistem pemilu) tertutup, justru membuka deadlock, buntu karena DPR menolak sehingga pemilu bisa tertunda," katanya.
Denny Indrayana menilai pernyataannya tersebut adalah informasi yang harusnya diterima secara ilmiah dan akademik.
Baca juga: Dilaporkan ke Organisasi Advokat, Denny Indrayana Dinilai Rugikan MK: Kredibilitas Jadi Turun
Selain itu, dirinya juga menginginkan agar informasi tersebut demi menjaga MK terhindar dari kepentingan tertentu.
Denny pun mencontohkan ketika Mahkamah Agung (MA) di Amerika Serikat (AS) jika dinominasikan presiden AS dari Partai Demokrat, maka hakim agung cenderung memiliki pandangan progresif liberal.
Lalu, lanjutnya, ketika presiden AS terpilih berasal dari Partai Republik maka hakim agung cenderung konservatif.
"Jadi kita bisa memetakan secara ilmiah akademik bagaimana kecenderungan putusan hakim dan itu kemudian meleset atau tidak. Itu dinamika sebelum putus kan sering terjadi," tuturnya.
"Ini adalah pilihan yang sadar saya lakukan untuk mengawal agar MK pada saat memutuskan mudah-mudahan sejalan dengan sistem proporsional terbuka," sambung Denny.
MK Putuskan Sistem Pemilu Coblos Caleg
Sebelumnya, MK telah memutuskan untuk menolak gugatan agar pemilu digelar dengan sistem proporsional tertutup atau coblos partai.
"Dalam pokok permohonan: menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK, Anwar Usman dikutip dari YouTube Mahkamah Konstitusi RI.
Kendati demikian, salah satu hakim yaitu Arief Hidayat memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Dalam pendapatnya, MK mengungkapkan tidak ada yang perlu ditakutkan terkait sistem proporsional terbuka dalam Pemilu 2024 dapat menimbulkan ancaman bagi Indonesia.
Baca juga: PDIP Tagih Pertanggungjawaban Denny Indrayana, Pernyataanya soal Pemilu Tertutup Tak Terbukti
MK pun membeberkan beberapa hal yang melandasinya, seperti adanya aturan terkait aktor politik yang dilarang untuk memiliki pandangan merusak ideologi negara hingga langkah-langkah teknis seperti membatalkan pencalonan legislator terpilih jika membahayakan ideologi dan NKRI.
Selain itu, kata hakim, sistem proporsional terbuka dalam pemilu juga dipandang sebagai perbaikan sistem pemilihan umum untuk memperkuat ideologi negara.
"Dengan pengaturan yang bersifat antisipatif tersebut, pilihan sistem pemilihan umum yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang akan dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang dapat mengancam keberadaan sekaligus keberlangsungan ideologi Pancasila dan NKRI," kata hakim.
Hakim juga menyinggung terkait dalil penggugat yang menyebut adanya politik uang ketika sistem proporsional terbuka digelar dalam pemilu.
Namun, menurut hakim anggota Saldi Isra, praktik politik uang akan terjadi dalam jenis sistem pemilu apapun.
Baca juga: 5 Poin Jawaban Tim Kuasa Hukum Denny Indrayana Menanggapi Konferensi Pers Mahkamah Konstitusi
Sehingga, Saldi pun memberikan solusi yaitu perbaikan komitmen, penegakan hukum yang harus dilaksanakan, dan pemberian pendidikan politik untuk menolak adanya politik uang.
"Sikap inipun sesungguhnya merupakan penegasan Mahkamah, bahwa praktik politik uang tidak dapat dibenarkan sama sekali," tuturnya.
Hakim pun menilai dalil-dalil yang dituliskan penggugat bukan menjadi landasan untuk mengubah sistem pemilu.
Namun, perlu adanya perbaikan di beberapa aspek lain.
"Menurut Mahkamah, perbaikan dan penyelenggaraan pemilihan umum dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari sistem kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hak dan kebebasan bereskpresi serta mengemukakan pendapat, kemajemukan ideologi, kaderisasi dalam tubuh partai politik, hingga kepentingan dan aspirasi masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik," kata hakim Saldi Isra.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Pemilu 2024