TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (PP Hima Persis) mengkritisi lahirya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut dengan menggelar webinar nasional.
Kegiatan tersebut dihadiri lebih dari 100 kader Hima Persis se-Indonesia serta pembicara dari kalangan pemerintah, akademisi, pengamat maritim, hingga nelayan tradisional yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam.
Ketua Umum Hima Persis Ilham Nurhidayatullah mengatakan pihaknya mengkritisi hal ini karena berpotensi membawa dampak negatif terhadap ekonomi, ekologi, sosial, hingga politik di masa yang akan datang.
"Sebagai generasi muda penting untuk kita merespon isu-isu yang krusial dan cukup penting untuk keberlangsungan tanah air kita ke depanya," ujar Ilham dalam keterangannya pada Jumat (16/6/2023).
Direktur Jasa Kelautan Ditjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Miftahul Huda dalam pemaparannya mengatakan dibentuknya PP ini karena mempertimbangkan kondisi hasil sedimentasi di laut yang akan berdampak terhadap terumbukarang serta jalur pelayaran.
"Kalau kita baca pelan-pelan sebenarnya PP ini sisi ekologisnya sangat kental baru kita berbicara pemanfaatannya itu di ujungnya setelah semua beres di proses hulunya", ujar Huda.
Baca juga: Pakar Paparkan Alasan Sedimentasi di Laut Bisa Dimonetisasi
Akademisi Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Sri Wartini dalam paparannya menyampaikan proses pembentukan PP ini harus dengan kehati-hatian serta harus ada analisis dampak lingkungan agar tidak berdampak negatif ke depan.
"Yang menjadi pertanyaan bagaimana kajia PP ini sudah dilakukan, kalau dalam lingkungan harus ada Amdal-nya kalau di baca di PP itu memang tidak ada analisa mengenai dampak lingkungan," katanya menambahkan.
Pengamat Maritim Capt Marcellius Hakeng dalam kesempatan tersebut memaparkan vidio proses eksploitasi pasir laut menggunakan kapal dredging.
Baca juga: Jokowi Bantah Dibukanya Ekspor Pasir Laut untuk Muluskan Investasi Singapura di IKN
Sistem pengerukan di dunia saat ini ada tiga jenis yakni dengan menurunkan pengebor langsung ke dasar laut, dengan penghisap dan dengan menggunakan sistem beko atau alat keruk.
"Dari sisi konserpasinya bisa dilihat gak ada satupun dari ketiga alat yang saya sajikan ketika di operasikan melindungi kehidupan maupun terumbu karang yang ada di situ, justru akan memperkeruh, ikan-ikan tidak akan hidup karena kekurangan oksigen serta kandungan asamnya tentu akan meningkat." ujar Capt. Hakeng.
Pembicara selanjutnya dari kalangan nelayan Sugeng Nugroho selaku Wakil ketua Umum KNTI mengatakan bukan sekedar mewakili ketua umum Kesatuan Nwlayan Tradisional Indonesia (KNTI) tetapi ia berbicara sebagai penyambung lidah nelayan tradisional.
"Dengan hadirnya PP 26/2023 ini semakin menambah deretan panjang cobaan nelayan tradisional yang memang sebelumnya banyak persoalan sampai hari ini belum terselesaikan," keluh sugeng.
Dengan beberapa tanggapan dari berbagai kalangan ini dapat disimpulkan bahwa PP PP 26/2023 ini perlu ditinjau kembali serta harus melibatkan berbagai praktisi kelautan dan perikanan agar tidak banyak menimbulkan mudarat di kemudian hari.