Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono menolak pasal 156 pada RUU Kesehatan.
Pasal 156 tersebut menyebutkan bahwa kedepannya, Menteri Kesehatan lewat aturannya akan menjadi pihak yang berwenang untuk menentukan jumlah batang dalam kemasan rokok, bentuk serta tampilan kemasan.
“Jika RUU ini resmi disahkan, maka akan berdampak panjang pada seluruh elemen ekosistem pertembakauan. Masa depan ekosistem tembakau pun sudah tentu akan hilang dengan cepat secara legal,” ujar Hananto melalui keterangannya, Rabu (28/6/2023).
Hananto menegaskan ekosistem tembakau bukanlah pihak yang anti aturan, bahkan sektor ini sangat patuh terhadap regulasi.
Tidak hanya itu, tembakau terus berkontribusi terhadap penerimaan negara dengan rerata 10 persen-13% dari porsi APBN selama lima tahun terakhir.
Dengan adanya aturan ini pun, Hananto mempertanyakan sikap pemerintah yang seperti menafikan sumbangsih tembakau terhadap perekonomian masyarakat.
Baca juga: Tembakau Disetarakan dengan Narkotika di RUU Kesehatan, Wakil Ketua MPR: Bisa Berdampak ke Petani
Bahkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, alokasi kontribusi cukai rokok kedua terbesar berada di bidang kesehatan sebesar 40%.
“Sudah saatnya Pemerintah dan Wakil Rakyat juga memberikan kesempatan ekosistem pertembakauan ini dapat bertahan, diberi perlindungan dan jaminan keberlangsungan,” tambahnya
Menurut Hananto, sampai dengan saat ini ada sekitar 300 regulasi tingkat lokal dan pusat yang mengelilingi ekosistem pertembakauan. Saat pasal ini muncul yang menyebutkan standarisasi kemasan akan diatur oleh Menteri Kesehatan, otomatis akan bertentangan dengan aturan yang telah ada.
Terkait praktiknya, AMTI pun menilai pembentukan RUU Kesehatan ini mengabaikan praktik keterbukaan dan partisipatif.
"Kami berharap RUU Kesehatan yang saat ini sedang memasuki pembicaraan tingkat kedua di DPR RI tidak berakhir menjadi regulasi yang justru mengkriminalisasi ekosistem pertembakauan," ucapnya.
Sementara itu, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) melihat aturan ini sangat diskriminatif.
“Pengusul tidak ingin tembakau ada di Indonesia sehingga kesannya ada monopoli. Bukan tidak mungkin kedepannya petani bisa ditangkap apabila menanam tembakau. pembeli pun juga akan memilih bahan lain karena takut dikenai pasal,” kata Ketua Dewan Pimpinan APTI, Agus Pamudji
Agus pun meminta agar Pemerintah tidak mematikan sektor ekonomi tembakau karena saat pasal ini disahkan kemungkinan produk tembakau hilang yang juga diikuti hilangnya rokok tembakau.
"Ini adalah pasal yang begitu jahat dan undang-undang yang cacat karena dari rancangan hingga ke tahap pengesahan hanya disosialisasikan lewat media,” ungkap Agus.
Sebelumnya hal senada disampaikan Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi yang menjelaskan di pasal tembakau tersebut Kemenkes akan memiliki kewenangan dalam mengatur standarisasi kemasan produk tembakau yang dapat menimbulkan disharmonisasi antar kementerian.