TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebocoran data kembali terjadi di Indonesia. Kali ini, 34 juta data paspor Indonesia dibobol dan diperjualbelikan.
Diketahui, data yang dibobol terdiri dari nomor paspor, NIKIM, tanggal pembuatan, tanggal kadaluarsa, tanggal lahir, jenis kelamin hingga pemutakhiran.
Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta menyatakan kasus ini semakin membuat masyarakat berkurang kepercayaan kepada pemerintah khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
"Kejadian bobolnya data-data pribadi rakyat Indonesia terus berulang dan seperti tidak ada pencegahan dan tindakan hukum yang bisa mencegah kejadian berulang. Kali ini data paspor penduduk Indonesia dibobol dan dijual oleh Bjorka sejumlah total 34.900.867 nama pengguna paspor dengan banderol 10.000 USD atau sekitar Rp150 juta," kata Sukamta.
Lebih lanjut, Anggota DPR RI asal DI Yogyakarta ini mengingatkan kasus kebocoran data sebelumnya yang diungkap oleh salah seorang Hacker bernama Bjorka. Hal ini menjadi catatan buruk pemerintah.
"Kasus pembobolan data oleh Bjorka telah sering terjadi, mulai dari bobolnya 35 juta data pengguna MyIndihome, 19 juta data BPJS Ketenagakerjaan, 3,2 miliar data dari Aplikasi Peduli Lindungi, 45 juta data MyPertamina, 105 juta data Komisi Pemilihan Umum, 679.000 surat yang dikirim ke Presiden Jokowi 1,3 miliar data SIM Card, dan browsing history dari 26 juta pengguna Indihome," jelasnya.
Bobolnya data paspor kali ini, imbuh Sukamta, lebih parah dan mencoreng Kominfo serta negara Indonesia karena server Imigrasi ada di Pusat Data Nasional (PDN) yang dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
"Kominfo harus bertanggung jawab dan menjelaskan ke publik mengenai kasus ini," terang Sukamta.
Sukamta menilai aturan yang dipergunakan oleh pemerintah saat ini masih banyak celah. Sedangkan UU PDP November 2024 baru berlaku.
"Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat dan Undang-Undang yang berhubungan dengan dunia digital yaitu UU ITE jarang dipergunakan untuk menindak tegas kasus-kasus yang berhubungan dengan dunia digital," jelasnya.
Pemerintah dalam hal ini Kominfo, kata Sukamta, harus membuat peraturan darurat sebelum berlakunya UU Pelindungan Data Pribadi.
"Tujuannya selain mencegah dan sebagai dasar hukum penindakan kasus kebocoran data juga mendorong pengelola data menyiapkan sistem dan infrastruktur," katanya.
Baca juga: Perkembangan Terbaru Penanganan Dugaan Kebocoran Data Paspor 34,9 Juta WNI
Adapun informasi bocornya 34 juta data paspor itu terungkap oleh pengamat cybersecurity Teguh Aprianto di laman Twitter miliknya, pada Rabu (5/7/2023).
Berdasarkan unggahan yang dia bagikan, dalam tangkapan layar terlihat judul laporan yang bertuliskan "34 Million Indonesian Passports" yang dirilis oleh nama Bjorka.
Informasi mengenai data paspor yang diduga bocor tersebut berisikan data sebesar 4 GB dengan total data sebanyak 34,9 juta.
Selain itu, informasi itu menyatakan bahwa data bocor tersebut dari negara Indonesia, dan terlihat jelas data yang diduga bocor itu dijual 10.000 dolar AS atau setara Rp150 juta.
“Di portal tersebut pelaku juga memberikan sampel sebanyak 1 juta data. Jika dilihat dari data sampel yang diberikan, data tersebut terlihat valid. Timestampnya dari tahun 2009-2020,” lanjut Teguh di Twitter.
Adapun hingga berita ini ditayangkan, belum ada respon dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terkait kebocoran data paspor tersebut.