TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menilai tarif kereta Lintas Raya Terpadu (LRT) Jabodebek yang berkisar antara Rp 20.000 sampai Rp 25.000 itu bakal menyasar masyarakat kalangan atas.
Dijelaskan, tarif LRT Jabodebek lebih tinggi dibandingkan moda transportasi Mass Rapid Transit (MRT) yang berkisar Rp 3.000 sampai Rp 14.000.
"Pengguna LRT mungkin ya sama juga dengan MRT nantinya."
"Kalau sasarannya itu bagaimana kita menarik kalangan menengah atas mau rutin menggunakan LRT," kata Djoko saat dihubungi Tribunnews, Jumat (14/7/2023).
Djoko mengatakan, tarif LRT Jabodebek bahkan jauh lebih mahal dibandingkan dengan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) senilai Rp 3.000 sampai Rp 6.000.
Sehingga, pengguna KRL lebih dominan masyarakat kelas bawah.
Melihat hal tersebut, menurut Djoko pemerintah perlu mendorong masyarakat kelas atas untuk beralih menggunakan moda transportasi umum.
"Kalau saya lihat, KRL banyak penggunanya kelas menengah kebawah karena tarifnya lebih murah. Prasarana peninggalan belanda, jadi engga beli tanah lagi," ujar dia.
"Sarana nya juga engga baru, bekas. Jadi subsidinya juga kecil tapi tarifnya bisa murah juga," lanjutnya.
Djoko yang juga sebagai Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat mengatakan, pengaturan feeder di setiap stasiun LRT menjadi catatan pemerintah untuk menggaet masyarakat kelas atas.
"Feedernya bagaimana, tapi sayangnya angkutan bobrok. Apakah kaum menengah atas itu mau, sementara sopir-sopit angkutan kota (angkot) ngetem sana-sini. Mereka butuh cepat. Saya enggak yakin rerouting itu berhasil dengan angkutan yang ada," jelasnya.
Bocoran tarif
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menyatakan, tarif Lintas Raya Terpadu (LRT) Jabodebek tak lebih dari Rp 25.000.
"Kalau denger-denger bocoran ya antara Rp 20.000 sampai Rp 25.000 kira-kira. Tapi kita akan menghitung tentu itungan ini kita hitung tidak asal," kata Menhub Budi beberapa waktu lalu.