Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Tata Negara Bivitri Susanti menduga ada skenario politik hukum di balik ditetapkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menjadi Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
Hal tersebut disampaikan Bivitri dalam sidang uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, beragendakan mendengarkan keterangan saksi dan ahli pemohon perkara 40/PUU-XXI/2023 (VI).
Dalam keterangannya di persidangan, Bivitri menyinggung pidato Menteri Perekonomian RI Airlangga Hartarto, saat Perppu 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dikeluarkan pada 30 Desember 2022 lalu.
"Dalam pidato Menteri Perekonomian, ketika Perppu 2 tahun 2022 dikeluarkan, pada 30 Desember 2022. Dikatakan bahwa salah satu argumennya adalah untuk memberikan kepastian hukum," kata Bivitri, saat menyampaikan keterangannya kepada Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (26/7/2023).
Ia kemudian mempertanyakan maksud 'kepastian hukum' yang dinyatakan Menko Perekonomian itu untuk siapa.
Baca juga: Hari Ini Partai Buruh Gelar Aksi di Patung Kuda, Kawal Sidang Lanjutan Uji Formil UU Cipta Kerja
Sebab, pada faktanya, menurut Bivitri, terdapat politik hukum dalam UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"Pertanyaan konstitusionalnya, kepastian hukum untuk siapa? Karena kenyataannya, post factum, kita bisa melihat adanya politik hukum UU 11 Tahun 2020," ucapnya.
Terkait politik hukum tersebut, Bivitri menyampaikan studi kasus, yakni melalui pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, pada 23 Juni 2023 lalu.
Baca juga: Konsisten Tolak UU Cipta Kerja, PKS: Kita Tidak Ingin Buruh jadi Objek Penderita
"Pernyataan pada 23 Juni 2023, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, bahwa 'pemerintah terpaksa akan memutihkan 3,3 juta hektare kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Langkah tersebut mengacu pada UU Cipta Kerja'," kata Bivitri.
Melalui studi kasus tersebut, Bivitri ingin membuktikan, ada skenario yang terganggu akibat dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XIX/2021, yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
"Artinya memang saya ingin membaca, ada sebuah skenario yang terganggu karena putusan mahkamah, yang bagi kami baik. Tapi bagi sebuah skenario yang disiapkan jauh-jauh hari, putusan mahkamah mungkin terasa mengganggu. Sehingga tetap saja dilaksanakan dengan instruksi mendagri, dengan kebijakan2 lainnya," ujar Bivitri.
Sebagai informasi, sidang uji formil UU Ciptaker ini diikuti oleh para pemohon lainnya, yakni pemohon perkara 41, 46, 50, 40/PUU-XXI/2023.