TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri aliran uang korupsi dari tersangka Christa Handayani Pangaribowo (CHP), Bendahara Pengeluaran, ke sejumlah pihak.
Uang itu disebut KPK berasal dari pencairan dana tunjangan kinerja (tukin) fiktif di Kementerian ESDM.
Untuk mendalami hal tersebut, penyidik KPK memeriksa saksi Gede Putra Adnyana selaku karyawan swasta, Selasa (22/8/2023).
"Gede Putra Adnyana (Karyawan Swasta), saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dugaan aliran uang dari Tersangka CHP ke beberapa pihak terdekatnya yang sumbernya dari pencairan dana tukin fiktif di Kementerian ESDM," kata Juru Bicara KPK Ali Fikri, Rabu (23/8/2023).
Dalam kasus dugaan korupsi pembayaran tukin pegawai di Kementerian ESDM, KPK menetapkan 10 orang sebagai tersangka.
10 tersangka dimaksud antara lain, Priyo Andi Gularso (PAG), Subbagian Perbendaharaan/PPSPM; Novian Hari Subagio (NHS), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK); Lernhard Febian Sirait (LFS), Staf PPK; Abdullah (A), Bendahara Pengeluaran; dan Christa Handayani Pangaribowo (CHP), Bendahara Pengeluaran.
Kemudian, Haryat Prasetyo (HP), PPK; Beni Arianto (BA), Operator SPM; Hendi (H), Penguji Tagihan; Rokhmat Annashikhah (RA), PPABP; dan Maria Febri Valentine (MFV),Pelaksana Verifikasi dan Perekaman Akuntansi.
Dari kontruksi perkara yang disampaikan Ketua KPK Firli Bahuri, diceritakan bahwa kasus bermula dari realisasi pembayaran belanja pegawai di Kementerian ESDM selama 2020 sampai 2022 sebesar Rp221.924.938.176 yang dimanipulasi para tersangka.
Komisi antikorupsi menduga proses pengajuan anggaran itu tidak disertai data dan dokumen pendukung.
"Pengkondisian daftar rekapitulasi pembayaran dan daftar nominatif di mana Tersangka PAG meminta kepada LFS agar 'dana diolah untuk kita-kita dan aman', menyisipkan' nominal tertentu kepada 10 orang secara acak, pembayaran ganda atau lebih kepada 10 orang yang telah ditentukan," kata Firli di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (15/6/2023).
Dari siasat itu, nominal tukin, yang seharusnya dibayar Rp1.399.928.153, menggelembung menjadi Rp29.003.205.373.
Totalnya berarti negara mengalami kerugian sampai Rp27.603.277.720.
Uang itu lalu dibagi ke 10 tersangka dengan pembagian sebagai berikut:
1. Priyo Andi Gularso menerima Rp4,75 miliar
2. Novian Hari Subagio menerima Rp1 miliar
3. Lernhard Febian Sirait menerima Rp10,8 miliar
4. Abdullah menerima Rp350 juta
5. Christa Handayani Pangaribowo menerima Rp2,5 miliar
6. Haryat Prasetyo menerima Rp1,4 miliar
7. Beni Arianto menerima Rp4,1 miliar
8. Hendi menerima Rp1,4 miliar
9. Rokhmat Annashikhah menerima Rp1,6 miliar
10. Maria Febri Valentine menerima Rp900 juta
Duit itu kemudian digunakan untuk berbagai keperluan, berikut rinciannya:
- Pemeriksa BPK RI sejumlah sekitar Rp1,035 miliar
- Dana taktis untuk operasional kegiatan kantor
- Keperluan pribadi di antaranya untuk kerja sama umrah, sumbangan nikah, THR, pengobatan, serta pembelian aset berupa tanah, rumah, indoor volley, mes atlet, kendaraan, serta logam mulia.
"Dengan adanya penyimpangan tersebut, diduga telah mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya bernilai sekitar Rp27,6 miliar," ujar Firli.
Namun, sampai detik ini, KPK baru menerima pengembalian dari para tersangka sebesar Rp5,7 miliar dan logam mulia 45 gram sebagai bentuk pemulihan aset. KPK masih terus menelusuri kasus ini.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.