TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Dr Fahri Bachmid memberikan pandangan akademik bahwa kebutuhan ketatanegaraan menjelang Pemilu 2024 mendatang adalah bagaimana merumuskan pranata proses peralihan kekuasaan eksekutif secara tertib, damai, dan bermartabat dalam lingkungan jabatan kepresidenan RI pasca-Pemilu dengan merumuskan sebuah Undang-Undang Transisi Kepresidenan.
Fahri Bachmid menyampaikan pandangan tersebut saat menjadi narasumber dalam Diskusi Publik Bertema Harkat, Martabat & Keselamatan Seorang Mantan Presiden di Bakoel Koffie-Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (1/9/2023).
Selain Fahri Bachmid, dalam diskusi turut hadi cendikiawan serta pengamat politik Rocky Gerung, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, dan Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago sebagai narasumber.
Dskusi dimoderatori Titi Anggraini sebagai Ahli Kepemiluan dan Demokrasi.
Baca juga: Relawan PDIP Gelar Kompetisi Mural Untuk Anak Muda Perkecil Ruang Konflik Jelang Pemilu
Fahri Bachmid berpendapat bahwa pentingnya transfer kekuasaan secara damai di negara demokrasi terbesar seperti Indonesia.
"Karena itu menjadi penting dan urgent untuk mendorong peralihan kekuasaan eksekutif secara tertib sehubungan dengan berakhirnya masa jabatan presiden dan/atau pelantikan Presiden yang baru terpilih," ujar dia.
Dikatakan bahwa prinsip dasarnya adalah kepentingan nasional mensyaratkan agar peralihan jabatan Presiden tersebut dilakukan guna menjamin kesinambungan pelaksanaan pembangunan.
"Sehingga dengan demikian potensi gangguan dalam bentuk apa pun yang disebabkan oleh pengalihan kekuasaan eksekutif serta berimplikasi pada timbulnya instabilitas sosial politik yang pada hakikatnya dapat merugikan kepentingan nasional, baik pada aspek keamanan maupun kesejahteraan," ujarnya.
Baca juga: Pengamat Sebut Demokrat Lebih Cocok Dukung Prabowo, Alasannya Hubungan SBY dan Megawati
Untuk itu pembahasan RUU ini, lanjut Fahri Bachmid, menjadi penting untuk memastikan agar pola pengaturan serta institusionalisasi yang "manageable" agar secara fungsional dapat mereduksi berbagai gangguan yang mungkin timbul pada proses peralihan kekuasaan eksekutif tersebut.
"Sehingga peralihan terjadi secara tertib dalam jabatan Presiden, pengaturan hukum transisi presiden secara doktriner diorientasikan agar proses di mana presiden terpilih secara konstitusional bersiap untuk mengambil alih administrasi pemerintahan dari presiden yang sedang menjabat," ujar Fahri Bachmid.
Dia mengatakan kebutuhan hukum berupa Undang-Undang Transisi Presiden sebagai alat untuk mengatur mekanisme serta memfasilitasi transisi kekuasaan yang tertib dan damai, sekaligus mengatur aspek-aspek teknis lainya seperti layanan dan fasilitas transisi presiden yang disediakan oleh negara pada kantor sekretariat negara.
Fahri Bachmid menilai bahwa perjalanan bangsa dan negara kita selama ini sepanjang yang berkaitan dengan proses peralihan kekuasaan antara presiden selama ini belum bertumbuh sebuah tradisi ketatanegaraan yang baik.
"Secara konstitusional pranata pengaturan transisi presiden tidak diatur secara spesifik sehingga dengan demikian kebijaksanaan yang tinggi serta kearifan dari seorang kepala negara dalam menciptakan tradisi ketatanegaraan terkait keberlangsungan dan transisi kekuasaan menjadi penting untuk dikembangkan," ujar Fahri Bachmid.
Dijelaskan bahwa proses transisi presiden terjadi baik pada tataran simbolis maupun pada tataran praktis tentunya mempunyai makna yang luar biasa sehingga ke depan merupakan suatu keniscayaan untuk dipositifkan dalam sebuah UU khusus dan secara simbolik perlu dipertahankan sebagai sebuah "custom" atau tradisi ketatanegaraan.