News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Dewan Proper KLHK Anggap Potensi Kerugian Negara Rp14,7 Triliun Akibat Polusi PLTU Tidak Berdasar

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTARSI Suasana aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Cilegon, Banten, Selasa (28/6/2022).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Studi dari CREA mengungkapkan polusi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di sekitar DKI Jakarta berpotensi merugikan negara 960 juta dolar AS atau setara Rp14,7 triliun per tahun.

Dewan Proper Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Pambagio menganggap klaim asumsi kerugian negara Rp14,7 triliun tersebut tidak berdasar.

"Ya namanya dia (CREA) jualan, pasti memakai agenda setting. Dengan cara mem-publish di media massa tentang dampak polusi udara, maka akan terbentuk citra di masyarakat bahwa seolah-olah kerugian akibat polusi udara itu benar. Padahal bisa saja tidak seperti itu," kata Agus kepada wartawan, Senin (18/9/2023).


Pengamat Kebijakan Publik ini mengatakan, organisasi CREA terlalu memaksakan bahwa penyebab buruknya polusi di Jabodetabek karena PLTU. Padahal kata dia, pemerintah dalam rapat kabinet telah menyatakan bahwa penyebab buruknya udara Jabodetabek adalah gas buang kendaraan bermotor.

"Karena kalau PLTU yang disosialisasikan akan menghasilkan bisnis besar di Indonesia, padahal pemerintah dalam Rapat Kabinet Terbatas (Ratas) sudah mengatakan bahwa penyebab buruknya udara di Jabodetabek adalah karena kendaraan bermotor, bukan PLTU," jelas dia.

Untuk mengetahui kondisi polusi udara di wilayah Indonesia, papar Agus, khususnya di Jabodetabek, publik dapat mengakses aplikasi bernama ISPUnet dari KLHK. Melalui aplikasi ISPUnet, dapat diketahui kondisi kualitas udara setiap saat.

Memang belum sempurna karena di wilayah DKI Jakarta hanya enam titik pemantauan, tetapi ISPUnet sudah dapat diandalkan tanpa perlu harus membeli peralatan atau teknologi impor yang mahal namun belum mendapatkan sertifikat SNI ditambah lagi kandungan TKDN-nya juga rendah.

Baca juga: Pemerintah Diminta Jaga Kedaulatan Bidang Energi, Tak Perlu Latah Ikut-ikutan Menghentikan PLTU

"Masih banyak lagi lembaga yang berkedok penelitian, tetapi sebenarnya mereka produsen alat atau software dan ingin produknya dibeli oleh pemerintah Indonesia," ungkap Agus.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini