News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Relokasi di Pulau Rempang

Pakar Bicara Polemik Rempang, Singgung Status hingga Dugaan Tumpang Tindih Kepemilikam Lahan

Penulis: Reza Deni
Editor: Endra Kurniawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Potret massa Pulau Rempang mendatangi kantor BP Batam, Rabu (23/8/2023). Pakar komentari perihal konflik lahan di Pulau Rempang. Singgung status hingga dugaan tumpang tindih kepemilikam lahan.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik pembangunan Rempang Eco City beberapa hari terakhir ini menjadi buah bibir masyarakat Indonesia.

Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menjelaskan bahwa tanah seluas 17.000 hektare di Pulau Rempang sebagian besar merupakan kawasan hutan dan tidak ada hak atas tanah di atasnya.

Menanggapi hal tersebut, pakar Hukum Pertanahan, Tjahjo Arianto, menyebut bahwa Pulau Rempang adalah hutan yang digarap oleh masyarakat penggarap dan bukan tanah adat.

"Maka harus dibedakan, di situ Rempang itu kan sebagian besar adalah bekas hutan dan bekas HGU. Jadi bukan pengakuan kepemilikan, tapi pengakuan dia telah menggarap, walaupun penggarapan (perkebunan, peternakan) itu ya ilegal," kata Tjahjo kepada wartawan, Senin (18/9/2023).

Termasuk soal tanah uliyat atau adat, Tjahjo menjelaskan belum ada dasar hukum yang tegas terkait apa saja yang membuat sah keberadaan pemukiman tanah adat di Pulau Rempang.

Baca juga: Warga Rempang Kecewa Menteri Bahlil Tidak Jawab Ketika Mereka Tegaskan Tidak Mau Digusur

"Kalau mereka menggarap tanah itu turun menurun, tinggal disitu turun menurun, itu bisa dikatakan masyarakat adat. Tapi harus diteliti dan dan dicek kembali hutan dilepaskan tahun berapa kepada para penggarap. Ini tanggung jawab Walikota Batam," ujarnya.

Ia menambahkan juga bahwa tidak ada istilah tanah milik negara, adanya milik pemerintah sebagai pengelola negara.

Semua wilayah Batam itu direncanakan akan menjadi milik pemerintah dibawah pengelolaan BP Batam, dengan ciri-cirinya BP Batam diberi Hak Pengelolaan Lahan (HPL).

"Jadi bila BP Batam itu mengajukan kerja sama dengan investor, maka investor akan dapat Hak Guna Bangunan (HGB) diatas HPL. Artinya pemilik tanah tetap pemerintah dalam hal ini wilayah Batam," kata Tjahjo.

Dia menuturkan bahwa pendudukan oleh masyarakat Pulau Rempang ini tidak serta-merta menjadikan masyarakat tersebut menjadi pemilik tanah dimaksud.

Baca juga: Ustaz Abdul Somad Ceritakan Sejarah Pulau Rempang, Berisi Keturunan Para Prajurit Melayu

Menurutnya, kasus Kampung Tua ini berbeda dengan pendudukan yang dilakukan masyarakat Pulau Rempang atas bekas perkebunan HGU. Pendudukan oleh masyarakat Pulau Rempang ini tidak serta-merta menjadikan masyarakat tersebut menjadi pemilik tanah dimaksud. Terhadap hal pendudukan ini, dia menilai harus ada kebijakan khusus dan tidak harus dipertahankan seperti Kampung Tua di tempat lain.

"Model penyelesaian sengketa penguasaan tanah antara masyarakat dan BP Batam harus diawali dengan penelusuran riwayat tanah melalui sejarah, cagar budaya, tanda-tanda fisik alam—seperti usia pohon atau tanaman keras yang ditanam, pengakuan dan kesaksian masyarakat serta lembaga adat," katanya.

Surat Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementerian Sekretariat Negara Nomor B.2593/Kemensetneg/D-3/DM.05/05/2015 tanggal 12 Mei 2015 merupakan jawaban terhadap surat tuntutan masyarakat Kampung Tua kepada Presiden. "Inti surat ini memerintahkan Gubernur Kepulauan Riau, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kepulauan Riau, dan Kepala Badan Pengusahaan Batam untuk membuat kajian dalam rangka penyelesaian," kata dia.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menduga ada tumpang tindih terkait dengan kepemilikan lahan sehingga mengakibatkan konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini