News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hukuman Rajam untuk Pelaku LGBT, Anggota DPR Ini Bilang Perlu karena Makin Mewabah

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Anggota Komisi VIII DPR RI Nur Azizah Tamhid mengusulkan hukuman rajam demi menekan makin maraknya praktik LGBT terutama di kalangan anak muda yang semakin terjerumus pergaulan bebas.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hukuman rajam bagi para pelaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) perlu diberlakukan di Indonesia menyikapi makin maraknya praktik LGBT yang melanggar norma agama belakangan ini.

Usulan hukuman rajam untuk pelaku LGBT tersebut disampaikan anggota Komisi VIII DPR RI Nur Azizah Tamhid demi menekan makin maraknya praktik LGBT terutama di kalangan anak muda yang semakin terjerumus pergaulan bebas.

Dalam forum Ngobrol Pendidikan Islam (NGOPI) di Bekasi, Jawa Barat, jelas Azizah, sangat banyak dampak buruk mewabahnya LGBT di Indonesia.

"Karena efek dari perundang-undangan (UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual) itu. akhirnya lesbian dan pergaulan bebas terjadi dan meresahkan masyarakat," ujarnya di forum Ngobrol Pendidikan Islam (NGOPI) di Bekasi, Jawa Barat, Minggu (12/11/2023).

Dia mengatakan, berlakunya Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS berdampak mewabahnya pergaulan bebas hingga kaum LGBT sehingga meresahkan masyarakat.

Pergaulan bebas dan kelompok LGBT memicu maraknya penyakit HIV hingga AIDS. "Ini penting, penyakit HIV AIDS itu kan penularannya melalui lingkaran itu," ujarnya.

Azizah menganjurkan agar orang tua membekali anak-anaknya dengan ilmu agama dan akhlak yang baik agar tidak terjerumus ke pergaulan bebas.

Baca juga: Granati LGBT Ancam Kepung Bandara, Hotel hingga GBK Jika Konser Coldplay Tetap Digelar

Azizah menambahkan, pergaulan bebas dan LGBT juga menjadi larangan agama dan yang melakukannya akan mendapat dosa besar.

"Ingat juga, pergaulan bebas dan LGBT itu dosa besar, dalam Islam LGBT harus dirajam," pungkasnya.

Cek HP Anak

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, meminta kepada orangtua untuk mengecek isi ponsel anak untuk mencegah maraknya praktik LGBT di kalangan siswa sekolah.

Saran itu disampaikan KPAI Klaten di acara sosialisasi HIV dan Kewaspadaan Perilaku LGBT, Selasa (3/10/2023).

Dr Ronny Roekmito, Sekretaris KPA Klaten mengatakan, pihaknya melakukan sosialisasi melihat dari tren peningkatan kasus LGBT di Kabupaten Klaten.

Baca juga: Kuliah Kebangsaan di UI, Ganjar Dicecar Soal Boneka Megawati hingga Diteriaki Utang Negara dan LGBT

“Berdasarkan identifikasi KPA Klaten, kasus HIV berdasarkan factor resiko LGBT, terutama perilaku gay atau LSL (lelaki seks dengan lelaki) di Kabupaten Klaten, berjumlah 146 kasus," paparnya, dikutip dari TribunSolo.com, Kamis (5/10/2023).

Angka tersebut didapatkan berdasarkan temuan kasus HIV.

Meski begitu, pihaknya meyakini masih banyak perilaku LGBT yang belum teridentifikasi, terutama di kalangan remaja yang memiliki risiko tinggi terpapar perilaku LGBT, karena mempunyai rasa ingin tahu yang besar.

Demo kaum homo dan aktivis LGBT di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta (17/5/2015). Kompas/Yunanto Wiji Utomo. (Kompas/Yunanto Wiji Utomo.)

Hal tersebut didukung dengan perkembangan teknologi yang cepat, hingga tak menutup kemungkinan, komunitas LGBT berkembang melalui aplikasi daring.

Untuk itu, pihaknya meminta tenaga pendidik untuk aktif melakukan pemantauan langsung terhadap perilaku remaja.

"Silahkan cek HP dari siswa bapak ibu guru sekalian, jangan-jangan ada aplikasi ini."

"Sangat memungkinkan ada media lain yang digunakan dan aplikasi ini sangat mudah penggunaannya. Inilah yang harus kita waspadai, dan banyak sekali faktor pendukungnya,” ujar dr Ronny.

Ia menambahkan, tenaga pendidik untuk mensosialisasikan risiko yang dialami seperti tertular penyakit kelamin hingga HIV/AIDS.

“Deteksi awal munculnya perilaku LGBT sendiri dimungkinkan karena gaya hidup maupun dari media yang menampilkan publik figur yang di ditiru."

"Karena itu, selalu awasi anak didik kita dan selalu beri pendampingan dan edukasi yang tepat,” ujarnya.

Temuan LGBT di Wonogiri

Di Solo Raya sendiri, beberapa waktu ditemukan adanya grup komunias LGBT, tepatnya di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Komunitas LGBT tersebut ditemukan oleh Dinas Sosial. Yang cukup menyita perhatian, komunitas tersebut banyak beranggotakan remaja usia sekolah.

Menanggapi hal tersebut, psikolog klinis RSUD dr Soediran Mangun Sumarso Wonogiri, Basuki Rahmad mengatakan, mereka penyuka sesama jenis berada dalam kondisi yang tidak diinginkan.

Ia juga menyebut, pemeriksaan komprehensif perlu dilakukan.

Baca juga: KemenPPPA Minta Youtube Hentikan Tayangan Video Lagu Anak Diduga Berunsur LGBT

Pemeriksaan tersebut perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab serta penentuan penanganan yang tepat.

"Seseorang bisa menyukai sesama jenis bisa karena faktor lingkungan ataupun karena masalah hormon," kata Basuki, kepada TribunSolo.com, Senin (22/5/2023).

Basuki mengatakan, lingkungan sosial juga bisa menentukan. Misalnya, banyak di sekitar yang penyuka sesama jenis, bisa mempengaruhi seseorang, meskipun awalnya menyukai lawan jenis.

"Selain itu, saat lingkungan sosialnya banyak yang seperti itu seseorang bisa terpengaruh meskipun pada awalnya menyukai lawan jenis," jelasnya.

Basuki menambahkan, seseorang juga bisa berpotensi biseksual. Misalnya, seorang suami yang sudah mempunyai istri, namun tetap memiliki pasangan gay.

Selain faktor pergaulan, faktor masalah horman juga berpengaruh.

Terakhir, ia menyampaikan, peran orang tua sangat dibutuhkan untuk melakukan kontrol. Orang tua harus bisa dekat secara emosional kepada anak.

Dengan dekatnya hubungan orang tua dan anak, bila terjadi perubahan pada anak yang mengarah ke LGBT, maka orang tua bisa merasakan dan mengantisipasinya.

Cara mengantisipasi antara lain dengan berkonsultasi dengan tenaga profesional.

Survei Opini Publik Indonesia tentang LGBT

Dina Listiaorini Msi, dosen Atma Jaya dan kandidat doktor Universitas Indonesia (UI) yang mempelajari perkembangan LGBT di Indonesia mengatakan, selama tiga tahun terakhir pemberitaan yang menggoreng isu LGBT sangat luar biasa.

Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) dalam survei tentang LGBT pada Maret 2016, September 2017 dan Desember 2017 mengumpulkan sampel pada masing-masing survei sebanyak 1.220 orang berusia di atas 17 tahun yang dipilih secara acak.

Hasilnya seperti dipaparkan Ade Armando selaku Direktur Media SMRC di SMRC, Jakarta, didapati temuan bahwa persentase orang yang tahu LGBT terus meningkat dari masa ke masa dan mencapai 58 persen pada Desember 2017.

Dari orang-orang yang menjawab tahu, 88 persen percaya bahwa LGBT mengancam, dan 81 persen setuju bahwa gay dan lesbian dilarang agama.

Sebanyak 80 persen responden juga keberatan bila seorang LGBT menjadi tetangga mereka, 89 persen keberatan bila jadi bupati atau wali kota mereka, 90 persen keberatan jika jadi gubernur mereka, dan 89 persen keberatan jika jadi presiden mereka.

“Ini sangat berkolerasi dengan pandangan bahwa gay dilarang agama dan sebagainya. Jadi gay atau lesbian jangan berharap atau sulit sekali menjadi bupati dan lain-lain,” kata Ade.

Sikap responden secara pribadi terhadap kaum LGBT tidak selalu sama dengan temuan di atas.

Dalam survei Maret 2016, SMRC bertanya kepada mereka yang mengaku tahu LGBT, seandainya ada anggota keluarga yang ternyata LGBT, apakah akan tetap diterima sebagai anggota keluarga?

Ternyata 46 persen menjawab menerima, walaupun mayoritas (53 persen) menjawab tidak menerima.

Lalu, mayoritas (57,7 persen) berpendapat bahwa LGBT berhak hidup di Indonesia, dan 50 persen meyakini bahwa pemerintah wajib melindungi LGBT seperti halnya warga yang lain.

Kecenderungan ini ditemukan tidak berbeda secara signifikan antara jender (laki-laki dan perempuan), maupun tempat tinggal (desa-kota), agama, tingkat pendidikan, dan tingkat penghasilan.

Namun, mereka yang lebih tinggi kecenderungannya dalam menolak LGBT adalah mereka yang berusia di atas 55 tahun, pensiun, dan bersuku Betawi atau Minang.

Sebaliknya, semakin muda, berpendidikan tinggi, dan bersuku Batak seseorang, kecenderungannya lebih menghargai keberagaman.

Ade mengatakan, sikap negatif terhadap LGBT ternyata tidak disertai dengan keinginan untuk mendiskriminasi LGBT sebagai warga negara.

“Memang tetap harus diberi catatan bahwa (masyarakat Indonesia) tetap diskriminatif karena menolak LGBT sebagai kepala pemerintahan, tetapi tidak sampai tahap LGBT harus dilarang dan ditiadakan dari Indonesia,” imbuhnya.

Menanggapi temuan SMRC, Dina mempertanyakan seberapa dalam pengetahuan masyarakat yang menjawab tahu LGBT.

“Ini jadi relevan dengan anggapan bahwa LGBT itu ancaman dan tidak perlu dilindungi pemerintah,” katanya.

Selain itu, Dina juga ingin tahu lebih lanjut mengenai pandangan LGBT di kalangan penganut kepercayaan lokal atau adat.

Antropolog UI Dr Irwan Hidayana juga mengharapkan adanya survei lanjutan soal tafsir dominan apa yang dalam agama tentang LGBT dan ancaman yang dimaksud oleh responden.

“Ancaman itu apa? Apakah ancaman fisik, ancaman psikologi, atau ancaman ketularan? Saya pikir jawaban orang jadi agak ambigu karena tidak terlalu jelas dengan apa yang dimaksud pertanyaan itu,” ujarnya.

Irwan juga pernah melakukan penelitian dengan topik serupa pada 2012 dan hasilnya tidak terlalu berbeda. Akan tetapi, dia dan tim juga bertanya apakah responden mengenal seorang LGBT.

“Ada perbedaan signifikan dari yang kenal LGBT dan tidak kenal LGBT. Responden yang kenal dengan LGBT secara personal memiliki sikap yang lebih positif daripada yang tidak kenal,” kata Irwan.

“Saya masih percaya bahwa orang Indonesia sebenarnya masih cukup toleran dengan LGBT karena secara historis dan kultural, cukup banyak masyarakat indonesia yang mengakui, mengenal, dan hidup besama dengan kelompok yang memiliki orientasi dan identitas seksual yang berbeda,” katanya lagi.

Laporan reporter M. Rifqi Ibnumasy/Renald/Ibnu Dwi Tamtomo/Erl | Sumber: Warta Kota

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini