News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pergantian Panglima TNI

DPR Setuju Jenderal Agus Subiyanto Jadi Panglima TNI, Mengapa Dianggap Bagian dari 'Geng Solo'

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) sekaligus calon Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dengan Komisi I DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (13/11/2023). Komisi I DPR RI menggelar fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan kepada calon tunggal Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto yang telah diajukan oleh Presiden Joko Widodo untuk menggantikan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang akan memasuki masa pensiun. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pencalonan Jenderal Agus Subiyanto sebagai Panglima TNI  setelah menggelar uji kelayakan dan kepatutan secara tertutup.

Jenderal Agus adalah satu-satunya calon Panglima TNI yang diusulkan Presiden Jokowi ke DPR RI.

Akan tetapi peneliti Imparsial, Hussein Ahmad, menyebut pencalonan Agus Subiyanto sarat nepotisme atau konflik kepentingan jelang tahun politik 2024.

Dituduh sebagai 'orang dekat' Jokowi, Agus Subiyanto tak menyangkal namun dia berdalih kedekatan tersebut hanya sebatas kerja.

Apa bukti 'kedekatan' Agus dengan Jokowi?

Penelusuran LSM Imparsial soal kedekatan hubungan antara Presiden Jokowi dengan calon Panglima TNI Agus Subiyanto merujuk pada sejumlah hal.

Pertama, nampak pada hubungan dekat antara Jokowi dan Agus Subiyanto ketika masing-masing menjabat sebagai pimpinan pemerintahan dan satuan teritorial di Kota Solo.

Baca juga: Pengamat Usulkan Jenderal Agus Subiyanto Bentuk Tim Khusus untuk Jaga Netralitas TNI

Pada tahun 2009-2011, Jokowi masih menduduki kursi wali kota dan Agus sebagai Komandan Kodim 0735 Surakarta.

"Dan perlu diketahui, dia [Agus Subiyanto] merupakan orang yang kesekian kalinya dari sekian banyak orang dari Solo dan menjabat di pucuk pimpinan," ujar Hassan Ahmad kepada BBC News Indonesia.

"Sebelumnya ada Kapolri Listyo Sigit yang orang Solo, sehingga menunjukkan kali ini agak sulit dihindarkan bahwa ini [pencalonan Agus Subiyanto] ada kepentingan politik di belakangnya," sambungnya.

Kedua, kalau melihat rekam jejak Agus Subiyanto di militer, menurut Hassan, tidak ada yang spesial.

Catatan Imparsial, perwira tinggi TNI AD tersebut tak punya prestasi yang mentereng dibandingkan pendahulunya.

"Dia biasa-biasa saja. Padahal kalau mau mencari pengganti jabatan Panglima TNI minimal sama. Apalagi berkaca sosok Agus Subiyanto ini lebih berat kepada orang Jokowi. Itu yang publik lihat."

Dalam konteks reformasi di sektor keamanan, jelas Hussein, pemilihan Panglima TNI harus lepas dari unsur nepotisme.

Karena yang utama, pemimpin tertinggi TNI mesti memiliki kemampuan yang bagus, komitmen pada hak asasi manusia serta demokrasi, dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu serta supremasi sipil.

Sehingga siapapun yang menduduki jabatan tersebut harus tunduk dan taat pada presiden.

"Jadi kalau ada pertimbangan orang dekat, itu ketinggalan zaman."

"Dalam konstruksi hukum siapapun panglima TNI atau presiden tidak jadi masalah."

Apa niat Jokowi di balik pencalonan Agus Subiyanto?

Hussein Ahmad dari Imparsial menduga penunjukkan Agus Subiyanto sebagai Panglima TNI jelang tahun politik adalah untuk kepentingan Presiden Jokowi, yakni memenangkan salah satu kandidat cawapres yang juga anaknya Gibran Rakabuming Raka - yang maju sebagai pendamping Prabowo Subianto.

Meskipun sesuai UU TNI nomor 34 Tahun 2004 sudah jelas mengatur soal netralitas TNI dan tidak boleh berpolitik praktis, akan tetapi kata Hussein keterlibatan TNI dalam pemilu sebelum-sebelumnya 'terpantau'.

Saat itu pihaknya mendapat informasi ada Bintara Pembina Desa (Babinsa) mendata kecenderungan masyarakat memilih ke calon mana.

"Itu kejadiannya di Jakarta, bayangkan kalau terjadi di wilayah-wilayah yang tidak bisa diakses seperti pegunungan Papua?" ujar Hussein.

"Kemudian di Riau pada 2014, ada pengerahan masyarakat oleh babinsa ke Tempat Pengumutan Suara (TPS) yang diduga untuk menyukseskan calon tertentu."

"Jadi ada keterlibatan tentara."

Selain menggunakan aparat terbawahnya, TNI juga klaim Hussein, bisa memengaruhi tokoh masyarakat bahkan pengusaha untuk memilih calon tertentu.

Sebab sudah bukan rahasia umum lagi bahwa pejabat TNI aktif memiliki 'kedekatan' dengan pengusaha.

Itu mengapa dia berharap Komisi I DPR tak cuma jadi stempel pemerintah dalam proses uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI Agus Subiyanto.

Parlemen, sambungnya, harus menyelidiki secara mendalam dan memperjelas Agus Subiyanto akan netral dan tidak menggunakan pengaruhnya dalam pemilu 2024.

Apa hasil rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi I DPR?

Dalam rapat yang berlangsung siang tadi, Komisi I DPR menyetujui pencalonan Kepala Staf TNI AD, Agus Subiyanto sebagai Panglima TNI menggantikan Yudo Margono.

Persetujuan itu diputuskan setelah menggelar uji kelayakan dan kepatutan yang berlangsung tertutup untuk wartawan.

"Komisi I DPR RI memberikan persetujuan terhadap pengangkatan Jenderal TNI Agus Subiyanto sebagai Panglima TNI," kata Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid saat membacakan hasil rapat, Senin (13/11).

Meutya berkata keputusan tersebut secara bulat yang artinya tidak ada anggota Komisi I yang menyampaikan sikap berbeda terhadap pencalonan Agus Subiyanto.

Serta tidak ada catatan dari Komisi I terhadap pencalonan Agus.

"Tidak ada catatan yang mengiringi, hanya harapan, Bapak Agus Subiyanto profesional, menjaga netralitas TNI dan memperhatikan kesejahteraan prajurit," ucapnya.

Apa tanggapan Agus Subiyanto yang disebut 'orang dekat' Jokowi?

Calon Panglima TNI, Agus Subiyanto, tak menyangkal soal kedekatannya dengan Presiden Jokowi.

Dia menjelaskan kedekatan itu merupakan bagian dari pekerjaan, mengingat saat dia bertugas sebagai Komandan Kodim 0735/Surakarta, Jokowi masih mengemban tugas sebagai wali kota.

"Saya berdinas tidak hanya di Solo, mungkin kebetulan waktu saya di Solo bertemu dengan Pak Jokowi," ujar Agus Subiyanto menjawab pertanyaan wartawan usai uji kelayakan dan kepatutan di Komisi I DPR, Jakarta.

Ia berkata kedekatan dengan pimpinan daerah sengaja diterapkan karena TNI perlu membangun hubungan erat dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).

Karenannya, kedekatan yang sama juga terjalin saat Agus menjabat sebagai Komandan Resor Militer (Danrem) 061/Suryakencana di Bogor, kemudian Panglima Daerah Militer (Pangdam) III/Siliwangi yang menaungi wilayah Banten dan Jawa Barat.

"Dengan Pak Ridwan Kamil dan Pak Uu saya dekat juga. Jadi bagi saya, pada saat saya menjabat saya selalu melaksanakan tugas bareng-bareng dalam bentuk Fokopimda itu," jelasnya seperti dilansir Antara.

Terkait netralitas TNI pada pemilu 2024 nanti, dia menegaskan bakal menjamin netralitas institusi tersebut dari kepentingan manapun dan memperkuat sinergitas TNI-Polri dalam mengamankan pesta politik mendatang.

Netralitas TNI-Polri dipertanyakan

Sebelumnya sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mencurigai adanya potensi penyalahgunaan fungsi TNI dan Polri dalam menjamin keamanan Pemilu 2024.

Kecurigaan itu muncul setelah beredar kabar bahwa aparat keamanan, baik TNI maupun Polri, telah diperintahkan untuk menurunkan maupun memasang baliho pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Padahal, tindakan itu tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi aparat keamanan.

Namun, pihak TNI dan Polri membantah tuduhan itu dengan menegaskan bahwa sikap netralitas memang sudah tertuang dalam UU TNI dan UU Polri yang mengatur bahwa aparat keamanan harus bersikap netral dan tidak boleh terlibat dalam politik praktis.

Bagaimana indikasi dugaan pelanggaran netralitas TNI-Polri dan apa implikasinya bagi Pemilu 2024?

“Ini potensial pemilu terjadi kecurangan. Dan itu berbahaya sekali untuk demokrasi, karena dapat menimbulkan chaos di lapangan,” ujar Isnur.

Peneliti dari Setara Institute, Ikhsan Yosarie, mengatakan aparat penegak hukum sudah beberapa mengekang kebebasan berpendapat masyarakat yang mengkritisi pemerintah.

Sebagai contoh, ia menyebut kasus Ketua BEM UI, Melki Sedek Huang, yang mengeklaim keluarganya dan guru SMA-nya menerima intimidasi dari aparat keamanan dan orang-orang tak dikenal setelah Melki banyak mengkritisi putusan MK nomor 90 tentang batasan usia capres-cawapres.

“Intimidasi yang dilakukan aparat tidak hanya mencerminkan gangguan kebebasan berpendapat. Tapi juga hambatan nyata terhadap partisipasi warga negara dalam politik,” kata Ikhsan.

Terkait dugaan keterlibatan aparat dalam pemasangan maupun pencopotan baliho capres-cawapres, Ikhsan menegaskan kembali bahwa dalam UU Polri Pasal 28 ayat 1, jelas disebutkan bahwa Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Dalam UU TNI pun juga tegas melarang TNI berpolitik praktis, dan bahkan hal tersebut merupakan definisi dari peran tentara itu sendiri.

“Artinya, tidak berpolitik praktis menjadi jati diri TNI. Dugaan keterlibatan dalam politik praktis, terutama dalam pemasangan atau pencopotan baliho harus diselidiki lebih jauh oleh Bawaslu,“ kata Ikhsan.

Apa itu 'Geng Solo' ?

Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Andi Muhammad Rezaldy, mengatakan bahwa potensi terjadinya pelanggaran netralitas sudah disinyalir dari adanya apa yang ia sebut sebagai ‘lingkaran aparat keamanan’ yang sangat dekat dengan Jokowi.

“Misalkan dalam konteks polisi, kami melihat ada Listyo Sigit, yang dari rekam jejak sangat dekat dengan Presiden Jokowi kemudian calon lainnya," katanya.

Bahkan muncul tudingan adanya ‘Geng Solo’ dalam jajaran kepolisian dan tentara.

Geng Solo adalah sebutan bagi sejumlah pejabat tinggi TNI/Polri yang pernah bertugas di Surakarta ketika Jokowi menjabat wali kota.

Di antara mereka terdapat Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo yang dulu menjabat sebagai Kapolresta Surakarta pada 2011-2012.

Ada pula Kapolda Jawa Tengah Irjen Ahmad Lutfi yang sebelumnya bertugas sebagai Wakil Kapolresta Surakarta pada 2011.

Kemudian, Penjabat (Pj.) Gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana pernah bertugas sebagai Kapolresta Surakarta pada 2010-2011.

Di tubuh TNI terdapat nama Jenderal Agus Subiyanto yang diajukan Presiden Jokowi sebagai Panglima TNI. Saat Jokowi menjabat sebagai Wali Kota Solo,

Agus merupakan Komandan Komando Distrik Militer (Dandim) 0735/Surakarta berpangkat kolonel.

Agus belum seminggu menjadi KSAD menggantikan Jenderal Dudung Abdurachman ketika namanya disodorkan Jokowi ke DPR sebagai calon tunggal Panglima TNI.

“Berkaitan dengan konsep pemilihan Panglima TNI yang kita lihat proses pemilihan atau penunjukan oleh Presiden Jokowi yang dilakukan dengan singkat kilat,” jelas Andi.

Ia mengatakan kedekatan itulah yang menjadi penguat bahwa Jokowi memiliki pengaruh terhadap cara kerja para petinggi-petinggi aparat keamanan yang secara struktural juga langsung berada di bawah perintah kepala negara.

Selain itu, Andi juga menyoroti klaim Jokowi di acara publik bahwa ia memegang data intelijen terkait perihal arah dukungan politik dalam Pemilu 2024.

Padahal seharusnya informasi intelijen seperti itu tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi di luar penegakan hukum.

Berdasarkan pemantauan KontraS, TNI mengerahkan lebih dari 400 personel tentara untuk mengawal berlangsungnya Pemilu 2024.

Padahal, sudah ada pihak kepolisian yang ditugaskan untuk menjaga keamanan selama pemilu berlangsung.

“Dengan jumlah masif tentara TNI yang dikerahkan untuk melakukan pengamanan pemilu, kami melihat pengerahan aparat ini tidak ada urgensi. Maka, [penyalahgunaan] yang saya sampaikan itu berpotensi terulang dan bahkan jauh lebih buruk,” katanya.

Apa implikasinya terhadap Pemilu 2024?

Pengamat politik, Ray Rangkuti, mengatakan baik ASN, TNI, maupun Polri, memiliki tanggung jawab sebagai pejabat publik untuk mempertahankan netralitas dalam bertugas. Netralitas itu penting untuk memastikan bahwa tidak terjadi kecurangan dalam kontestasi pemilu.

“Netralitas menyatakan bahwa semua eksektuif tidak boleh membuat kebijakan yang akan menguntungkan salah satu kandidat. Tidak boleh menggunakan fasilitas negara, tidak boleh juga ada gerakan, tindakan, ucapan yang asosiatif terhadap salah satu kandidat,” jelasnya.

Ia khawatir bahwa jika TNI-Polri terbukti tidak netral dalam melaksanakan tugas mereka, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi aparat penegak hukum pun akan ikut tumbal bersama dengan kepercayaan terhadap pemerintah yang baru.

“Saya kira polisi sekarang harus lebih vokal karena kecurigaan dan seterusnya semakin berkembang di tengah masyarakat.

“Jangan sampai mereka mendiamkan lalu di saat yang bersamaan langkah-langkah yang diambil makin kuat ke kecenderungan terhadap memprioritas seseorang,” ujar Ray.

Ia mengingatkan bahwa Polri seharusnya tunduk terhadap konstitusi, bukan pemerintah. Oleh karena itu, segala hal yang melanggar netralitas maupun tupoksi mereka seharusnya ditolak secara terang-terangan.

“Kekuasaan bisa keluar masuk tapi polisi tetap ada di situ. Tidak akan ke mana-mana. Oleh karena itu, amat penting menjaga kepercayaan publik pada polisi, karena besok pemerintah akan beda,“ ungkapnya.

Senada, Ketua Umum PBHI, Julius Ibrani, juga mengatakan bahwa jika publik merasa bahwa pemilu tidak lagi dapat diyakini sebagai sarana menyampaikan aspirasi dalam menentukan calon pemimpin, maka sangat besar potensi terjadinya pembangkangan sosial.

"Jangan sampai terjadi ketidakpatuhan masyarakat sipil terhadap instansi negara, terhadap perangkat negara dan hasil pemilu. Kemudian terhadap pemerintahan yang dihasilkan lewat pemilu,“ katanya.

Hal itu, sambungnya, dapat berujung pada kekisruhan horisontal, seperti yang terjadi pada 1998, 1966 dan 1974 ketika masyarakat berada dalam kerusuhan yang tak terkendali akibat jatuhnya pemerintah.

Apa tanggapan TNI-Polri terhadap tudingan potensi pelanggaran netralitas?

Kepala Pusat Penerangan TNI, Laksamana Muda Julius Widjojono, memaparkan lima peraturan resmi yang dijalankan oleh TNI dalam memastikan netralitas para anggotanya menjelang dan saat pelaksanaan Pemilu 2024.

Pertama, tidak terpancing dan tidak mendukung salah satu partai politik maupun paslon dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis. Kedua, tidak memberikan sarana/tempat milik TNI untuk paslon atau parpol sebagai sarana kampanye.

Ketiga, keluarga prajurit TNI tidak diperbolehkan memberi arahan dalam menentukan hak pilih. Keempat, prajurit dilarang memberikan komentar atau mengunggah apapun terkait hasil perhitungan suara quick count dari lembaga survey.

Terakhir, ia memastikan bahwa jajaran TNI akan menindak tegas prajurit dan PNS yang terbukti terlibat kegiatan politik praktis ataupun memihak terhadap salah satu partai ataupun calon dalam Pemilu 2024.

Pada Sabtu (11/11) Kapolda Jateng Irjen Ahmad Luthfi menyampaikan kepada Panglima dan Kapolri bahwa jajaran TNI-Polri di Jawa Tengah selalu bersinergi dan solid dalam rangkai memastikan Pemilu 2024 berjalan aman, damai dan lancar.

"Mohon izin pak Kapolri, Panglima mereka siap dalam rangka pengamanan dan netralitas Pemilu 2024," ujar Ahmad.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini