Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM ,JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pelimpahan tahap II atau penyerahan tersangka dan barang bukti dua tersangka kasus dugaan suap di lingkungan Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Kelas I Bandung, Kamis, 4 Januari 2024.
Dua tersangka dimaksud yaitu Direktur PT Bhakti Karya Utama, Asta Danika dan Direktur PT Putra Kharisma Sejahtera, Zulfikar Fahmi.
Dengan pelimpahan tahap II ini, itu artinya tidak lama lagi dua berkas perkara kedua orang tersebut akan dibawa ke meja pengadilan.
"Telah selesai dilaksanakan penyerahan tersangka dan barang bukti dengan tersangka AD dkk dari tim penyidik pada tim jaksa. Tim jaksa menilai pengumpulan alat bukti oleh tim penyidik telah memenuhi syarat formil dan materil sehingga dinyatakan lengkap," kata Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat (5/1/2024).
Baca juga: Dalami Kasus Korupsi Jalur Kereta Api, Kejaksaan Agung Periksa Pejabat Perkeretaapian Kemenhub
Selanjutnya tim jaksa penuntut umum (JPU) akan segera menyusun surat dakwaan untuk segera dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Selanjutnya segera dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor dalam waktu 14 hari kerja," ujar Ali.
Sejumlah saksi telah diperiksa dalam pengusutan kasus yang menjerat Asta Danika dan Zulfikar Fahmi.
Diantaranya Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PKB, Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz; Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PDIP, Sukur Nababan; dan Anggota Komisi V DPR RI Fraksi NasDem, Fadholi.
Rabu, 3 Januari 2024, tim penyidik juga memeriksa tiga saksi, yakni PPK pada Balai Teknik Perkeretaapian Semarang Taofiq Hidayat S dan Albertus Dito Migrasto serta PPK BTP Kelas I Jakarta Eko Rahadi Nurtanto. Penyidik KPK mendalami aliran uang dari tersangka Asta Danika ke sejumlah pihak.
"Didalami pengetahuannya antara lain dugaan adanya pemberian sejumlah uang dari tersangka AD dkk dalam bentuk fee ke beberapa pihak terkait lainnya," beber Ali.
Kasus yang menjerat Asta Danika dan Zulfikar Fahmi ini merupakan pengembangan perkara dugaan suap proyek jalur kereta api di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tahun anggaran 2018-2022.
KPK sebelumnya telah menetapkan 10 orang tersangka.
Diantaranya, Direktur Prasarana Perkeretaapian, Harno Trimadi; PPK Balai Teknik Perkeretaapian Jawa Bagian Tengah (BTP Jabagteng), Bernard Hasibuan, Kepala BTP Jabagteng, Putu Sumarjaya, PPK BPKA Sulsel, Achmad Affandi, dan PPK Perawatan Prasarana Perkeretaapian, Fadliansyah.
Lalu PPK BTP Jabagbar, Syntho Pirjani Hutabarat; Direktur PT Istana Putra Agung, Dion Renato Sugiarto; Direktur PT Dwifarita Fajarkharisma, Muchamad Hikmat; serta Yoseph Ibrahim selaku Direktur PT KA Manajemen Properti sampai dengan Februari 2023; dan Parjono selaku VP PT KA Manajemen Properti.
“Tim penyidik menemukan adanya peran pihak lain yang diduga turut serta memberikan suap khususnya pada SPH (tersangka Syntho Pirjani Hutabarat) selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Bandung tahun 2022 sampai dengan 2023,” kata Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (6/11/2023) malam.
Dijelaskan Johanis, Syntho Pirjani Hutabarat selaku orang penanggungjawab dalam proyek peningkatan jalur kereta api R 33 menjadi R 54 KM 76+400 sampai 82+000 antara Lampegan – Cianjur tahun 2023 sampai 2024, dengan nilai paket pekerjaan Rp41,1 miliar.
Syntho Pirjani lalu mengondisikan dan memploting calon pemenang lelang atas sepengetahuan dan arahan dari tersangka Hano Trimadi.
Lalu Asta Danika dan Zulfikar Fahmi menjalin kesepakatan dengan Syntho Pirjani agar perusahaan Asta dan Zulfikar dimenangkan dalam lelang proyek dengan memberikan sejumlah uang.
Adapun uang yang diberikan Asta dan Zulfikar sejumlah sekitar Rp935 juta melalui beberapa kali transfer antar rekening bank.
KPK menjerat tersangka Asta dan Zulfikar dengan Pasal 5 atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.