TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasca ruwatan nusantara di IKN akhir tahun 2023, rombongan Daulat Budaya Nusantara yaitu Pandawa Lima Budaya: Teguh Haryono, Sujiwo Tejo, Paox Iben Mudhaffar, Benny Zakaria dan Abdulloh Hamid membuka tahun 2024 dengan menggelar Sarasehan Kenduri Budaya dengan tema Macapat Refleksi Kehidupan melalui Jalan Kebudayaan, Senin (15/1/2024) sore.
Acara dibuka dengan kesenian Sanduran dari Bojonegoro yang dibawakan oleh Sanggar Seni Sayap Jendela dari Bojonegoro, kemudian dibuka oleh Teguh Haryono sebagai pemantik Sarasehan.
"Cita cita saya waktu kecil pingin jadi dokter, begitu dewasa pingin jadi insinyur dan akhirnya jadilah saya insinyur. Berkarya puluhan tahun dan sekolah lagi, saya ambil doktor pertahanan di Universitas Pertahanan. Akhirnya dari situ saya faham, bahwa pertahanan terbaik bangsa Indonesia adalah kebudayaan. Misalnya ilmu kedokteran, leluhur kita sudah ratusan tahun bahkan ribuan tahun mencatat atau punya ilmu titen, tanaman ini ditambah bijian itu untuk penyembuhan penyakit A," kata Teguh Haryono, pakar Pertahanan Budaya dari Universitas Pertahanan.
"Demikian juga dengan insinyur, sudah ratusan tahun nenek moyang kita memiliki struktur dan desain rumah atau sistem pemukiman yang sangat baik untuk berlindung dari kondisi alamnya. Dari sinilah saya pingin mengatakan bahwa Pertahanan terbaik bangsa Indonesia adalah kebudayaannya. Mulai dari meja makan budaya kuliner sampai dengan arsitektur rumahnya," tambahnya.
Sarasehan Kenduri Budaya di Mojokerto ini adalah acara sampingan dari Ruwatan Nusantara di Sembilan Titik yang di agendakan oleh Pandawa Lima Daulat Budaya Nusantara.
Sarasehan budaya ini dibuat untuk menanggapi antusiasme dari para seniman dan budayawan yang mengapresiasi Ruwatan Nusantara.
"Kebudayaan bukan hanya seni, kebudayaan adalah tentang cara berpikir. Soal tari, gamelan dan seni yang lain itu bagian permukaan dari kebudayaan. Misalnya, saya tidak akan memegang HP pada saat ada orang sedang bicara, atau seperti tadi saya datang telat karena gak bisa baca maps nyari jalan tol, saya datang langsung duduk pas sedulur sedulur memainkan Sanduran untuk membuka acara Sarasehan Kenduri Budaya. Saya memperhatikan betul kesenian yang sedang dimainkan," tutur Sujiwo Tejo membuka sarasehan budaya di Kafe Tirto Jati Mojokerto.
Tanpa menunggu waktu lama, statement Sujiwo Tejo langsung disambar para hadirin Sarasehan Kenduri Budaya yang mayoritas para seniman dan budayawan Jawa Timur.
"Apakah budaya itu sama dengan agama, kalau berbeda apa pembedanya?" tanya Anton dari Mojokerto.
Pertanyaan yang dilempar ditengah sarasehan ini langsung membuat riuh hadirin, menghangatkan suasana Kenduri Budaya yang sore ini gerimis.
"Budaya, seni, ritus ini perlu pemahaman. Apalagi ada agama. Harus tahu wilayahnya. Dalam ilmu antropologi ada kalcer dan ada nacer. Ketika alam (nacer) lebih kuat daripada kalcer (manusia) atau sebaliknya, maka perlu ritus sebagai jembatan penyeimbang. Ritus itu agama, seperti puasa yang dikenal oleh banyak agama agama," ujar Kyai Paox Iben Mudhaffar, pengasuh Pesantren Kebudayaan Ndalem Wongsorogo Kaliwungu Kendal.
Acara sarasehan budaya ini memang jarang diadakan, dan ketika informasi acaranya menyebar, otomatis menarik minat para seniman dan budayawan di Jawa Timur.
"Apakah puasa weton sebuah budaya," tanya Sangaji dari Sidoarjo.
Baca juga: Saat Hasto Dibuat Kagum oleh Pameran Lukisan Karya Budi Ubrux di Bentara Budaya Jakarta
"Puasa sunnah hari Senin dan Kamis. Rosululloh ditanya kenapa puasa sunnah hari Kamis, jawab Rosululloh karena di hari itu amal dinaikkan. Kenapa hari Senin, karena Senin hari lahir saya (Rosululloh). Jadi puasa weton itu silah diterjemahkan sendiri," jawab Gus Benny, pengasuh Pondok Alam Adat Budaya Nusantara.