Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTKIN) seluruh-Indonesia menggelar diskusi publik bertema 'Memperkokoh Moderasi Pasca Pemilu Demi Terwujudnya Harmoni Kebangsaan' sekaligus menyinggung persoalan Hak Angket DPR dan dihadiri jajaran Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia dan masyarakat. Diskusi berlangsung di kawasan Jakarta Selatan pada Kamis (7/3/2024).
Koordinator Pusat DEMA PTKIN Se-Indonesia M Syahrus Sobirin mengungkap diskusi ini bertujuan memberikan sekolah politik kepada para mahasiswa dan masyarakat di tengah dinamika situasi politik belakangan dalam lingkup Pemilu 2024.
"Karena masyarakat yang sekarang didominasi kaum Gen Z dan milenial harus lebih peka lagi kepada situasi politik hari ini. Dinamika setiap pemilu selalu terjadi tuduhan kecurangan oleh pihak yang kalah. Dinamika politik seperti ini memicu perpecahan di masyarakat yang kemudian membuat stabilitas keamanan terganggu di daerah-daerah," kata Sobirin.
Menurutnya, mengutip salah satu Kaidah Usul Fiqh yang artinya 'jika ada dua mudharat yang berkumpul maka yang lebih besar harus digugurkan, untuk melakukan yang lebih kecil'.
Sobirin mengaitkan hal itu dengan hak angket yang ramai diperbincangkan, berbau politis mengingat gimik serta motif yang dimunculkan tidak merepresentasi objektivitas pemilih.
Baca juga: Jimly Asshiddiqie Sebut Hak Angket Bisa Saja Pengaruhi Hasil Pemilu, Tapi . . .
"Karena ada mekanisme pemilu yang bisa kita tempuh selain dari pada hak angket, hak angket ini resisten dengan kepentingan elektoral elit politik saja," kata dia.
Oleh sebab itu Sobirin mengajak kepada seluruh elemen mahasiswa untuk bersama-sama untuk kembali berbicara kesejahteraan masyarakat guna terwujudnya kerukunan NKRI.
"Pentingnya membuka diri untuk pemerintah menerima masukan dari akademisi, organisasi, masyarakat termasuk peran dari generasi muda untuk membangun daerah dan harapan masyarakat untuk sejagtera dapat terlaksana dengan baik," jelas Sobirin.
Sementara, Marwansyah selaku akademisi sekaligus narasumber dalam diskusi, menyampaikan bahwa moderasi merupakan langkah konkrey dalam menjawab hiruk pikuk permasalahan di Indonesia. Di mana moderasi berada di pertengahan turut berkontribusi dalam meng-counter Pemilu karena berbeda pilihan.
"Kita sudah melewati secara bersama tanggal 14 Feberuari 2024 kemarin, dimana pesta demokrasi Indonesia tanpa terkecuali ini ada peran masyarakat atau rakyat. Pemilu adalah representasi dari musyawarah dalam menentukan pemimpin bangsa ini," pungkasnya.
Pada kesempatan yang sama, Harry Ahmad Gunawan selaku mantan aktivis yang aktif mengikuti perjalanan dinamika politik Indonesia, mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 menyebutkan Indonesia sebagai negara hukum.
"Pertama ketika memahami dasar demokrasi semestinya selesai ketika konsepnya disesuaikan dengan Pancasila," katanya.
"Kedua politik itu akan bercabang menjadi politik elektoral, birokrasi pemerintah maupun timbul secara langsung kepada publik," tambah Harry.
Masih menurut, Harry mahasiswa menjadi elemen penting dalam menyuarakan pesan-pesan moderasi kepada publik.
"Mahasiswa yang tergolong generasi milenial, pada diskusi ini harus lebih aktif untuk menyuarakan moderasi itu dimaknai secara dalam, hal yang sederhana ini mencerminkan Pra Kemerdekaan, Pra Orde lama dan Orde baru itu secara bersama merumuskan dengan diskusi," pungkas dia.