TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Isu Presiden Jokowi akan mencalonkan Ketua Umum Partai Golkar mengemuka akhir-akhir ini.
Apalagi setelah Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar dijadwalkan digelar Desember 2024 mendatang.
Munas akan memilih ketua umum Golkar yang baru.
Sejauh ini ada empat bakal calon ketua umum Golkar yakni Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet), Ketua Umum Golkar saat ini Airlangga Hartarto, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita
Nama Presiden Jokowi juga dikabarkan akan maju sebagai ketua umum Golkar.
Jokowi akan menyelesaikan jabatannya sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 2024 mendatang.
Kendala Jokowi
Kendati demikian, bukan tanpa kendala jika Jokowi benar-benar akan mencalonkan ketua umum Golkar.
Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Golkar Melchias Markus Mekeng menegaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum bisa menjadi ketua umum (Ketum) Partai Golkar pada tahun ini.
Pasalnya berdasarkan aturan dalam AD/ART, orang-orang yang maju menjadi calon Ketum Partai Golkar harus memiliki pengalaman minimal 5 tahun sebagai pengurus.
Adapun Golkar akan menggelar Musyawarah Nasional (Munas) untuk pergantian ketum pada Desember 2024 mendatang.
"Ya kalau mengikuti aturan itu, belum mungkin (Jokowi jadi Ketum Golkar)," ujar Mekeng, Minggu (10/3/2024) dikutip dari
Mekeng menjelaskan, untuk Jokowi maju sebagai calon Ketum Golkar, dia harus memenuhi persyaratan administratif yang ada.
Tanpa melalui aturan di AD/ART, kata dia, maka Jokowi tidak bisa maju.
"Minimal 5 tahun harus jadi pengurus," ucapnya.
Mekeng lantas mengungkit Jusuf Kalla (JK) yang hampir terganjal maju sebagai Ketum Golkar pada 2004 silam.
Ternyata, JK pernah menjadi pengurus di DPD Golkar Sulawesi Selatan (Sulsel), sehingga bisa maju menjadi calon ketum.
"Makanya dulu waktu Pak JK mau maju 2004 kan hampir terganjal waktu itu. Ternyata beliau pernah menjadi pengurus di DPD Sulsel, dan itu ada buktinya. Baru dia bisa jadi calon," jelas Mekeng.
Aturan Bisa Diubah
Kendati demikian, Mekeng menyebut persyaratan harus menjadi pengurus selama 5 tahun itu bisa diubah.
Untuk mengubah AD/ART, harus diadakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) terlebih dahulu.
Mekeng mengatakan Munaslub Golkar hanya bisa dilaksanakan jika ada urgensi.
"Atau persyaratan itu diubah di Munaslub, AD/ART-nya. Ya itu bisa juga. Tapi untuk mengadakan Munaslub harus ada urgensinya. Kenapa Munaslub? Enggak bisa cuma karena misalnya mau ubah ini kita Munaslub," imbuhnya.
Ketua Dewan Pembina Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Golkar, Idrus Marham, beberapa waktu lalu juga bicara peluang Jokowi menjadi Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Airlangga Hartarto di Munas Golkar 2024 ini.
"Ini semua bisa dibicarakan. Pengambil keputusan tertinggi ada di Munas. Jangankan itu, masalah ketua umum, jangankan itu, AD/ART saja bisa diubah. Artinya tertinggi betul itu (Munas), bagaimana Golkar ke depan, nasibnya ada di Munas sebagai lembaga tertinggi tertentu," kata Idrus saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2024).
Bukan Ketua Umum Tapi Dewan Pembina
Jokowi diperkirakan bakal diberi posisi dewan pembina bukan ketua umum jika pada suatu saat benar-benar bergabung ke Partai Golkar.
"Terkait masa depan politik Jokowi, semua kemungkinan masih berpeluang untuk terjadi. Boleh jadi bukan untuk menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar, tapi sebagai Dewan Pembina dan sejenisnya, yang membuat posisi Jokowi secara simbolik lebih senior ketimbang seorang ketua umum," kata Pengamat Politik Jannus TH Siahaan dalam pernyataannya yang dikutip pada Selasa (5/3/2024) dikutip dari Kompas.com.
"Untuk menjadi Ketum nampaknya cukup berat, karena posisi Jokowi sudah bukan lagi presiden setelah Oktober 2024 nanti. Tapi sebagai anggota dewan pembina, nampaknya peluang Jokowi sangat besar," lanjut Jannus.
Posisi sebagai Dewan Pembina dianggap lebih cocok dan sepadan dengan Jokowi mengingat dia adalah presiden.
Di sisi lain, sambung Jannus, jika Jokowi bergabung dan kemudian menduduki posisi ketua umum dikhawatirkan bakal menimbulkan gejolak di internal partai berlambang pohon beringin itu.
Sebab di dalam Golkar juga terdapat faksi-faksi politik.
"Walaupun meraih suara nomor dua terbanyak, di dalam Golkar sendiri kurang terlalu solid," ujar Jannus.
Sumber: Tribunnews.com/Kompas.com