News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Media Asing: Indonesia Incar Drone Buatan China dan Bayraktar Turki untuk Pertempuran BVR Masa Depan

Penulis: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Drone buatan Turki (kiri) dan CH-4 Rainbow buatan China.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Media asing menyoroti rencana strategis Indonesia menggunakan drone dalam pertempuran udara di masa depan.

TNI AU disebut mulai melirik wahana kendaraan tak berawak sebagai tulang punggung peperangan BVR (beyond visual range) atau "luar jangkauan visual", bersama jet tempur Rafale dan F-16.

Eurasiantime melaporkan, Kepala Staf TNI AU Marsekal Mohammad Tonny Harjono, mengumumkan langkah tersebut pada 22 April di Lapangan Dirgantara di Bantul, Yogyakarta.

KSAU, tulis Eurasiantimes, juga membahas rencana untuk mengakuisisi drone CH-4 buatan China dan ANKA serta Bayraktar asal Turki.

Laporan itu juga tidak menjelaskan, Bayraktar tipe apa yang tengah diincar Jakarta, ANKA-3, TB2, atau TB3.

Namun, laporan lain menunjukkan bahwa, untuk peran tempur udara-ke-udara, Indonesia berencana mengembangkan drone sendiri, berdasarkan pengalaman setelah menggunakan UCAV Tiongkok dan Turki.

"Visi Indonesia juga sangat mirip dengan konsep tekno-militer Turki yang terus berkembang dalam upaya memelopori perang anti-udara dengan drone, yang diwujudkan dalam UCAV Akinci dan Kizilelma," tulis Eurasiantimes.

Media tersebut juga mengutip pernyataan Marsekal Tonny ketika itu yang mengatakan," Akan ada drone baru untuk melengkapi sistem persenjataan nasional."

“Kami bisa mengoperasikannya dari luar wilayah yang ingin kami pantau; Misalnya di Papua atau daerah lain, kita bisa menerbangkannya dari luar Papua."

"“Mari kita berdoa agar TNI AU adaptif mengikuti perkembangan teknologi dan perubahan situasi nasional, regional, dan global,” ujarnya.

Masih menurut media tersebut, sebagai bagian dari proses modernisasinya, TNI AU telah membeli 42 jet tempur Dassault Rafale, yang diperkirakan tiba pada tahun 2026.

Selain sebuah pesawat angkut Airbus A400M, sebuah pesawat Airborne Warning and Control System (AWACS), dan sebuah pesawat pengisian bahan bakar (tanker) atau tanker atau pesawat angkut tanker multi-peran (MRTT).

Sementara menurut Arms Trade, Indonesia sedang melaksanakan proyek nasional untuk mengembangkan UAV serang kelas MALE yang mencakup “beberapa fitur desain CH-4.” Proyek ini dikenal dengan sebutan “Elang Hitam”.

Pengembangannya dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia (PTDI) bersama Komando TNI AU, BUMN PT Len, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan pabrikan nasional lainnya.

Namun, tujuan penggunaan drone untuk pertempuran udara hampir sama dengan upaya Turki dalam hal ini, mengingat hubungan diplomatik yang erat antara kedua negara. Sayap setia Kizilelma Turki, UCAV, juga secara tegas direncanakan untuk tujuan yang sama.

Daily Sabah mengatakan bahwa Lembaga Penelitian dan Pengembangan Industri Pertahanan (SAGE) dari Dewan Penelitian Ilmiah dan Teknologi Turki (TÜBITAK) “bekerja dengan tim yang mengembangkan kendaraan udara tempur tak berawak (UCAV) yang canggih milik Turki. Akıncı untuk rudal udara-ke-udara.”

Direktur Jenderal TÜBİTAK SAGE, Gürcan Okumuş, menggambarkan rudal udara-ke-udara sebagai “pedang” pesawat terbang.

“Dengan rudal-rudal ini, kami bertujuan untuk melihat tanpa terlihat dan dapat menyerang dari jarak jauh. Akan lebih mudah bagi kami untuk melakukan ini dengan rudal kami,” tambahnya.

Upaya Indonesia terhadap penembakan rudal udara-ke-udara UCAV tampaknya mereplikasi kemampuan yang memungkinkan pesawat tempur melepaskan rudal ke pesawat musuh dari platform udara lain sambil tetap berada pada jarak yang aman.

Hal ini berbeda dengan drone yang melakukan pertempuran udara, yang memerlukan manuver ketat dan pengambilan keputusan cerdas yang canggih.

Hal ini termasuk dalam bidang kecerdasan buatan (AI) yang sangat canggih dan algoritma kontrol penerbangan otonom, yang masih dalam tahap awal pengembangan di banyak negara.

Bahkan drone yang sepenuhnya dikendalikan secara manual tidak akan mampu melakukan aerobatik yang gesit karena kelambatan sinyal dari stasiun kendali darat dan badan pesawat yang relatif lebih lunak yang mungkin tidak mampu menahan tekanan penerbangan supersonik.

Drone CH-4 Tiongkok

Selain produk Turki, Indonesia disebut menandatangani kontrak untuk penyediaan CH-4 versi ‘B’ (CH-4B) dengan China Aerospace Science and Technology Corporation (CASC) pada tahun 2019.

Jakarta dikabarkan saat ini memiliki enam armada drone pabrikan China. Dua CH-4 pertama melakukan debut publiknya pada parade militer Oktober 2019.

Karena rincian kontrak tahun 2019 tidak diketahui, tidak jelas apakah CH-4B baru yang diumumkan merupakan pesanan baru atau hanya induksi operasional akhir dari enam UAV setelah pengujian dan sertifikasi kelaikan udara.

Situs Janes mengatakan dalam laporannya pada bulan September 2021 bahwa UAV “digunakan terutama untuk tujuan evaluasi, pelatihan, dan pengembangan doktrin.”

Varian CH-4 yang dipasok ke Indonesia memiliki radius operasi antara 1.500 km hingga 2.000 km dan dapat dioperasikan melalui link satelit.

Pada bulan April 2021, negara tersebut juga menerima rudal berpemandu presisi udara-ke-permukaan AR-2 buatan Tiongkok yang akan dioperasikan oleh CH-4B.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini