Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah memaparkan sejumlah agenda strategis yang harus dituntaskan presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Said mengatakan gejolak eksternal makin sulit diprediksi hingga ketegangan geopolitik telah menjelma menjadi ancaman laten aktivitas ekonomi.
"Karena hal itu, dalam sekejap harga komoditas global bisa melonjak, kurs rupiah terhempas dalam hitungan jam dan hari. Dalam sekejap pula, merambat, menekan ketahanan ekonomi nasional," kata Said dalam keterangannya, Selasa (4/6/2024).
Menurutnya, tekanan eksternal mengancam Indonesia karena belum kuatnya sektor pangan, energi, dan tata kelola devisa.
Said menjelaskan harga komoditas di tahun 2022 kian memperkaya lapisan ekonomi atas, serta kesenjangan sosial kian menganga.
"Angka kesenjangan sosial kian melebar. Semester I 2024, gini rasio telah menyentuh 0,388 lebih tinggi dibandingkan semester I 2023 yang berada di level 0,384," ujarnya.
Dia membandingkan tahun 2019 sebelum pandemi Covid-19, angka gini rasio ketika itu di level 0,380.
"Kue kemakmuran harus dinikmati bersama, kecenderungan naiknya kesenjangan sosial ini harus dikendalikan oleh pemerintah," ucap Said.
Selain itu, Said menuturkan seluruh agenda pembangunan yang dijalankan belum mampu mengangkut seluruh rakyat keluar dari kemiskinan ekstrim.
Padahal, dia mengungkapkan pemerintah punya target penghapusan kemiskinan esktrim di tahun 2024.
"Konvergensi program atas penghapusan kemiskinan ekstrim telah dijalankan. Jika realisasinya hingga 2024 penghapusan kemiskinan ekstrim belum tuntas, kita fasilitasi melalui RAPBN 2025 agar pemerintah tetap bisa menuntaskannya," ungkap Said.
Di samping itu, Said menekankan pentingnya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia untuk mengatasi stunting.
Menurutnya, target angka prevalensi stunting ke depan adalah 14,0 persen pada tahun 2024. Pada tahun 2023 masih berada pada angka 21,5 persen.
"Jika target prevelensi sebesar 14,0 persen belum juga tercapai, maka diperlukan upaya extraordinary, yang meliputi pendekatan spasial untuk daerah fokus intervensinya," jelas Said.
Said juga mengungkapkan pertumbuhan ekonomi nasional masih di angka lima persen. Padahal, Indonesia ingin naik kasta menjadi negara maju di 2045.
Dia berpendapat hal tersebut bisa dicapai dengan memanfaatkan secara optimal bonus demografi yang akan berakhir di tahun 2036.
"Alih-alih memanfaatkan bonus demografi secara optimal, dukungan anggaran pendidikan 20 persen dari belanja negara belum mampu mengubah rakyat menjadi tenaga kerja terampil, penuh inovasi, dan punya etos kerja tinggi," ungkap Said.
Belum lagi, kata dia, lebih dari separuh angkatan kerja masih lulusan SMP, sehingga tidak bisa diandalkan untuk bersaing dalam pasar tenaga kerja.
Said menuturkan dalam struktur serapan tenaga kerja, porsi pengangguran tahun 2022 didominasi lulusan SMA sebesar 8,5 persen dan SMK 9,4 persen.
"Mereka yang lulusan SMP ke bawah terserap sebagai tenaga kerja kasar, masuk sektor informal, dan upah murah. Mereka yang lulusan perguruan tinggi masuk ke sektor formal. Data ini memberi arti, mereka yang lulus SMA dan SMK dan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, kemungkinan besar dari rumah tangga kurang mampu," ucapnya.
Karenanya, Said mendorong perguruan tinggi agar lebih inklusif terhadap keluarga tidak mampu.
Menurutnya, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat hampir 10 juta penduduk berusia 15-24 tahun atau biasa disebut generasi Z (Gen Z) menganggur, tidak sekolah, tidak bekerja atau tidak mengikuti pelatihan atau Not Employment, Education, or Training (NEET).
Said merinci bahwa dari 44,47 juta penduduk berusia 15-24 tahun pada Agustus 2023, sekitar 22,5 persen atau 9,89 juta masuk dalam kategori NEET.
Dia menegaskan anggaran pendidikan 20 persen dari belanja negara harus mampu memberikan keterampilan anak-anak muda.
Di sisi lain, Said mengatakan pembangunan infrastruktur dan hilirisasi belum mampu mengubah haluan ekonomi, untuk menavigasikan ekspor bernilai tinggi.
"Tingkat investasi untuk menghasilkan barang/jasa belum efisien. ICOR kita tahun 2014 tercatat 5,5. Setelah hampir sepuluh tahun kita menggelorakan pembangunan infrastruktur, skor ICOR kita malah naik di kisaran 6,5 tahun 2023. Padahal negara-negara peers, seperti Malaysia di angka 4,5, Thailand 4,4, Vietnam 4,6, dan Filipina bahkan jauh lebih rendah 3,7," ungkapnya.
Dia menjelaskan dari data tersebut menunjukkan setiap penambahan Rp 1 miliar output dibutuhkan tambahan investasi sekitar Rp 6,5 miliar, sementara negara negara peers hanya di kisaran Rp 3 hingga 4 miliar.
"Seharusnya pembangunan infrastruktur dan investasi sumber daya manusia dan teknologi memberi kontribusi besar bagi turunnya koefisien ICOR nasional," jelas Said.
Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) ini berharap hilirisasi akan menjadi titian tangga menjadi negara industri.
"Catatan dari LPEM UI, hampir sepuluh tahun terakhir rata-rata nilai tambah manufaktur sekitar 39,12 persen hingga tahun 2020, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pada masa Presiden Megawati 43,94 persen, dan Presiden SBY 41,64 persen. Situasi ini menjadi tanda deindustrialisasi dini, oleh sebab itu pemerintah harus mewaspadai hal ini," tegasnya.
Said menjelaskan insentif pajak atas kebijakan hilirisasi harus diimbangi dengan kewajiban untuk serapan tenaga kerja Indonesia, alih teknologi, dan memperluas cakupan industri manufaktur nasional.
Sehingga, kata dia, pengelolaan sumber daya alam memberikan nilai tambah luas bagi kemakmuran rakyat.
Menurut Said, selama puluhan tahun Indonesia mengekspor bahan mentah, lalu beli lagi ketika menjadi barang jadi.
"Kita juga belum merasakan manfaat devisa atas hasil ekspor. Mereka mengambil kekayaan alam kita, namun memarkir devisanya ke luar negeri," tuturnya.
Dia menerangkan bahwa Banggar DPR mendukung pemerintah lebih tegas dan berani mengubah tata kelola devisa untuk kepentingan nasional.
Selain itu, Said menjelaskan agenda untuk memperkuat kemandirian pangan dan energi yang dicanangkan sejak Nawacita 1 juga belum mampu diraih.
"Food trade deficit kita beberapa tahun ini makin dalam, dimulai sejak 2007 hingga kini. Bahkan, tahun lalu food trade deficit kita menyentuh 5,3 miliar USD, tertinggi dalam sejarah republik," ungkapnya.
Demikian halnya sektor energi. Menurutnya, tingkat konsumsi minyak bumi sejak 2003 hingga kini lebih besar dengan produksi dalam negeri.
"Tahun lalu tingkat konsumsi minyak bumi kita lebih dari 1 juta barel per hari, sementara kapasitas produksi dalam negeri hanya 600-an ribu barel per hari, itupun sebagian hak kelolaan perusahaan minyak asing," ucap Said.
Said berharap masalah-masalah fundamental tersebut menjadi atensi pemerintah dan dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Ekonomi Makro serta Pokok Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2025.