"Padahal dalam Permen Nomor 17 Tahun 2012, KBAK merupakan kawasan lindung geologi sebagai bagian kawasan lindung nasional. Artinya, pemanfaatannya tidak boleh berpotensi merusak kawasan bentang alam karst," demikian temuan WALHI dikutip pada Rabu (12/6/2024) dari laman resminya.
WALHI menyebutkan bahwa kawasan Pantai Krakal masuk dalam zona perlindungan air tanah yang menjadi cadangan air bagi warga setempat.
Namun, kendati masuk kawasan zona perlindungan air tanah dan memiliki sungai dan mata air bawah tanah, Kecamatan Tanjungsari tetap masuk dalam wilayah rawan kekeringan.
Sehingga, jika dibangun resort dan beach club tersebut, maka semakin memperparah kekeringan di wilayah tersebut.
"Pembangunan resort yang mulai dibangun pada tahun 2024 dan akan selesai pada tahun 2025 semakin memperparah kekeringan di Kecamatan Tanjungsari," kata WALHI.
Selain dampak kekeringan, WALHI juga menyebutkan realisasi dibangunnya resort dan beach club itu semakin memperbesar potensi banjir dan lonsor di Kecamatan Tanjungsari.
Hal tersebut lantaran bebatuan karst di kawasan tersebut bakal rusak.
Padahal, batu karst berguna untuk menampung air bagi warga Kecamatan Tanjungsari.
"Pembangunan Beach Club Bekizart dengan luas tersebut dapat memperbesar potensi terjadinya banjir dan longsor karena menghilangnya daya dukung dan daya tampung di wilayah Tanjungsari," kata WALHI.
Pemkab Gunungkidul Disebut Miliki Peran, Beri Kelonggaran Investor Masuk
WALHI pun menyebut Raffi Ahmad bisa merealisasikan pembangunan beach club di Pantai Krakal tak lepas dari peran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunungkidul.
Mereka mengungkapkan Pemkab Gunungkidul justru memberikan kelonggaran investor luar untuk berinvestasi di sana.
Padahal, Pemkab Gunungkidul sempat mengimbau kepada warga untuk tidka menjual tanahnya ke investor luar.
Berdasarkan data dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), investasi di Gunungkidul pada tahun 2023 sebenarnya sudah melampaui target.