TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kecurangan pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di sejumlah daerah terus berulang. Pemerintah pun diminta memperluas akses sekolah murah dengan menggandeng penyelenggara pendidikan dari kalangan swasta.
"Faktor utama terjadinya kecurangan PPDB adalah terbatasnya akses sekolah negeri bagi calon peserta didik. Akibatnya terjadi kompetisi yang membuka peluang terjadinya kecurangan baik berupa penyuapan, jual beli kursi, hingga pungutan liar," ujar Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, Minggu (23/6/2024).
Baca juga: Cara Daftar PPDB Jatim 2024 Tahap 3 Jalur Zonasi SMK di ppdb.jatimprov.go.id
Syaiful Huda mengatakan, kedepan akses sekolah murah ini diperluas salah satunya dengan menggandeng penyelenggara pendidikan dari kalangan swasta membentuk sekolah amanat undang-undang.
Huda mengatakan kecurangan PPDB seolah menjadi bahaya laten yang terus terjadi setiap tahun.
Di sisi lain berbagai upaya antisipasi baik berupa pengawasan maupun kebijakan lebih detail belum mampu memberantas berbagai modus kecurangan yang muncul.
"Modus kecurangan ini beragam. Untuk jalur zonasi kecurangan bisa berupa adanya manipulasi data keluarga atau jarak domisi calon peserta didik baru dengan sekolah. Untuk jalur afirmasi kecurangan bisa berupa penggunaan jatah untuk mereka dari keluarga mampu, lalu di jalur prestasi bisa berupa pemalsuan sertifikat," jelasnya.
Huda mengungkapkan saat ini keberadaan sekolah negeri tidak seimbang dengan proporsi jumlah penduduk.
Padahal sekolah negeri milik pemerintah menjadi pilihan mayoritas peserta didik karena berbiaya murah.
"Mengacu data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2023, sekitar 10,5 juta siswa jenjang pendidikan dasar hingga menengah tidak diterima di sekolah pemerintah. Akhirnya mereka harus masuk ke sekolah swasta yang relatif mahal karena ada uang pangkal dan uang bulanan," katanya.
Baca juga: Kemendagri Minta Pemda Gratiskan Sekolah Swasta untuk Atasi Masalah Daya Tampung PPDB
Ketidakseimbangan proporsi jumlah sekolah dan jumlah penduduk ini, lanjut Huda kian terasa di level menengah atas.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2021 jumlah siswa menengah pertama di Indonesia sekitar 10,09 juta siswa, sedangkan daya tampung sekolah menengah atas milik pemerintah di kisaran SMA negeri hanya di kisaran 3,7 juta siswa saja.
"Jika dilihat dari jumlah sekolah di 2021, jumlah SMA di Indonesia tercatat 13.865 sekolah, dengan 50,24 persen atau sekitar 6,966 sekolah adalah milik swasta," katanya.
Situasi ini, kata Huda membutuhkan terobosan kebijakan agar daya tampung sekolah menengah atas di Indonesia meningkat.
Salah satunya dengan menggandeng penyelenggara pendidikan swasta agar bisa memberikan fasilitas dan layanan layaknya sekolah negeri bagi peserta didik.
"Di beberapa daerah seperti Jakarta dan Malang sudah mulai dilakukan di mana pemerintah daerah setempat memperlakukan sekolah swasta seperti layaknya sekolah negeri di mana semua bantuan dan biaya penyelenggaraannya ditanggung pemerintah. Dengan demikian peserta didik bisa mendapatkan akses lebih luas untuk melanjutkan pendidikan ke menengah atas," katanya.
Politisi PKB ini menyebut model kolaborasi pemerintah dan swasta dalam memperluas akses pendidikan siswa di Indonesia sebagai bentuk sekolah amanat undang-undang.
Menurutnya sekolah amanat undang-undang ini harus diwujudkan sebagai bentuk implementasi konstitusi yang menegaskan jika pendidikan merupakan hak setiap warga negara.
"Selain itu dalam jangka pendek dibutuhkan langkah tegas untuk menindak oknum-oknum yang terbukti terlibat aksi penyuapan atau jual beli kursi dalam proses PPDB 2024," pungkasnya.