TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Proses pendaftaran Calon Pimpinan (Capim) dan Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus bergulir.
Pendaftaran diketahui sudah dibuka sejak, Rabu (26/6/2024).
Hingga kini belum diketahui siapa saja yang akan mendaftar.
Berdasarkan informasi, ada 12 nama bekas penyidik lembaga antirusuah itu yang berniat mendaftar.
Berikut profil singkat yang dihimpun Tribun:
1. Mochamad Praswad Nugraha
Mochamad Praswad Nugraha lahir di Tanjung Karang, Bandar Lampung pada 8 September 1982.
Praswad merupakan anak kedua dari 4 bersaudara.
Praswad Nugraha menempuh pendidikan menengah atas di SMA Negeri 3 Bandar Lampung pada 1997-2000.
Setelah lulus, dia melanjutkan kuliah di Jurusan Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi (FE), Universitas Lampung pada tahun 2000.
Namun di tahun 2002, Praswad memutuskan untuk pindah haluan dan melanjutkan studi pendidikan strata satu (S1) pada Fakultas Hukum (FH) di Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung dan berhasil mendapatkan gelar sarjana hukum (SH) di tahun 2006.
Pada tahun 2011, Praswad berhasil menjadi Awardee of Australia Award Scholarship (AUSAID) program untuk menempuh pendidikan S2 di Queensland University of Technology, Brisbane, Australia.
Lewat beasiswa tersebut, Praswad berhasil menyabet gelar Master of Law (LL.M) di tahun 2012.
Sebelum menjadi penyidik KPK, Praswad juga pernah mengenyam pendidikan calon penyelidik yang digelar oleh KPK di Sekolah Intelejen Strategis dibawah Badan Intelijen Strategis (BAIS TNI) pada 2007.
Pendidikan tersebut kemudian mengantarnya sebagai penyelidik dan penyidik KPK selama kurun waktu 2007-2018 dan menjadi penyidik senior di KPK pada 2018-2021.
Praswad juga tercatat sebagai ahli di bidang Penyelidikan dan Penyidikan dengan pengalaman lebih dari 15 tahun di KPK membongkar kasus-kasus mega korupsi baik di dalam maupun di luar negeri.
Baca juga: Novel Baswedan hingga Mantan Raja OTT Berniat Daftar Capim KPK
Selama menjadi Penyidik KPK, pemilik gelar adat Suntan Penyimbang Rajo itu banyak menangani kasus-kasus besar di bidang pertambangan dan energi, ijin perkebunan, penyelewengan dana haji, suap di bidang peradilan, suap pada penegak hukum.
Kemudia Operasi Tangkap Tangan terhadap Menteri, Anggota DPR, Kepala Daerah, Tindak Pidana Pencucian Uang, Pidana Korporasi, dan yang terakhir adalah kasus Bantuan Sosial (Bansos) Sembako COVID-19 di Jabodetabek pada 2020 yang menyeret Menteri Sosial Republik Indonesia Juliari Batubara.
Selainb sebagai penyidik, Praswad juga dipercaya sebagai Kepala Advokasi Wadah Pegawai (WP) KPK pada periode jabatan tahun 2018 - 2021.
Dalam posisinya sebagai Ketua Advokasi, Praswad bertugas untuk memberikan pendampingan bagi pegawai yang mengalami permasalahan kode etik, memberikan advokasi kepada pegawai atas segala bentuk intimidasi dan ancaman terkait pekerjaan, dan mengawasi rancangan dan implementasi peraturan yang berdampak pada pekerjaan pegawai (termasuk menjaga independensi KPK, dll).
Selama masa jabatannya sebagai Kepala Advokasi Wadah Pegawai KPK, Praswad menjadi salah satu tokoh kunci dari berbagai macam gerakan perlawanan yang ada di KPK, antara lain adalah:
- Advokasi kasus penyiraman air keras mantan penyidik KPK Novel Baswedan dengan menggerakkan aksi di hari ke-100 hingga 1000 hari (2017-2021).[51][52]
- Menggelar aksi 1000 rantai manusia mengelilingi gedung KPK untuk menolak serangan fisik terhadap pegawai fungsional KPK yang sedang menjalankan tugas di Hotel Borobudur, Jakarta (2019).
- Melakukan pembelaan dan pendampingan dalam sidang kode etik terhadap Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo (2020).
- Mendampingi seluruh pegawai KPK yang di serang dan di kriminalisasi dalam melaksanakan tugas di KPK (2018-2021).
Pada 2021, KPK menggelar Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Praswad masuk dalam daftar 57 pegawai yang disingkirkan per 30 September 2021 karena dinyatakan tidak lolos TWK.
Lepas dari KPK, Praswad menjadi ketua IM57+ Institute, organisasi gerakan anti korupsi yang dideklarasikan di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia pada 30 September 2021.
IM57+ Institute beranggotakan 57 mantan pegawai KPK yang disingkirkan menggunakan mekanisme Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
2. Novel Baswedan
Melansir Wikipedia.org, Kompol. (Purn.) Novel Baswedan lahir di Semarang, Jawa Tengah, 22 Juni 1977 (umur 43 tahun)
Novel adalah cucu dari Pahlawan Nasional Abdurrahman Baswedan, dan sepupu dari Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta.
Ia memiliki 4 orang anak sebagai hasil pernikahannya dengan Rina Emilda.
Novel lulus dari SMA Negeri 2 Semarang pada tahun 1996, kemudian menyelesaikan pendidikannya di Akademi Kepolisian pada tahun 1998.
Setelah lulus dari Akademi Kepolisian pada tahun 1998, Novel mulai bertugas di Polres Bengkulu pada tahun 1999.
Novel menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Bengkulu sejak 2004 hingga 2005.
Ia kemudian ditugaskan di Bareskrim Mabes Polri selama dua tahun.
Rekam Jejaknya Sebagai Penyidik KPK
Pada Januari 2007 Novel ditugaskan sebagai penyidik untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sejak saat itu, Novel berpartisipasi dalam penyelidikan berbagai kasus besar yang ditangani oleh KPK.
Novel turut serta dalam menyelidiki kasus suap yang menjerat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin pada tahun 2011.
Kemudian kasus korupsi Wisma Atlet terkait SEA Games 2011 yang menyeret anggota DPR, Angelina Sondakh.
Lalu kasus suap cek pelawat yang melibatkan Nunun Nurbaeti dalam proses pemilihan Miranda Gultom sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia yang terjadi pada tahun 2004.
Novel juga terlibat dalam penyelidikan kasus suap dalam beberapa perkara pilkada yang melibatkan Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada tahun 2013.
Digoyang kasus penganiayaan
Pada 5 Oktober 2012, sejumlah polisi dari Kepolisian Bengkulu mendatangi gedung KPK untuk menangkap Novel atas kasus penganiayaan tersangka pencurian sarang walet saat ia bertugas di Polres Bengkulu pada tahun 2004.
Kasus tersebut pada akhirnya dihentikan setelah permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terlebih setelah laporan Ombudsman yang mendapati beberapa kejanggalan terkait pemrosesan kasus penganiayaan yang dituduhkan terhadap Novel.
Pada tahun 2014, Novel memutuskan mundur dari Polri dan menjadi penyidik tetap KPK setelah perintah Mabes Polri yang menarik kembali seluruh penyidik yang berasal dari kepolisian.
Penyiraman air keras
Pada subuh 11 April 2017, Novel disiram dengan air keras oleh orang tak dikenal di dekat kediamannya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Serangan tersebut terjadi di tengah upaya Novel menyelidiki kasus korupsi pengadaan KTP Elektronik yang melibatkan anggota DPR serta oknum pemerintah, dan telah menjerat Ketua DPR Setya Novanto.
Keesokan harinya, Novel diterbangkan ke Singapura untuk menjalani operasi dan perawatan matanya, yang berakhir pada Februari 2018 ketika ia kembali ke Indonesia.
Air keras yang mengenai wajah Novel menyebabkan kebutaan permanen pada mata kirinya.
Polri kemudian membentuk tim gabungan pencari fakta yang terdiri dari penyidik KPK, anggota kepolisian, Komnas HAM, serta akademisi pada Januari 2019 sebagai upaya penyelidikan serangan terhadap Novel.
Tim gabungan tersebut berjalan di bawah komando mantan Kapolri Tito Karnavian.
Setelah penyelidikan berjalan beberapa bulan tanpa perkembangan, Presiden Joko Widodo memberikan tenggat 1 bulan kepada Idham Azis untuk menyelesaikan kasus penyerangan Novel setelah pelantikannya sebagai Kapolri pada 1 November 2019.
Pada 26 Desember 2019, Polri menyatakan bahwa pelaku penyerangan Novel telah berhasil ditangkap.
Dua pelaku tersebut adalah Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, dan merupakan anggota aktif kepolisian.
Novel menyatakan bahwa kedua pelaku tersebut hanyalah orang suruhan, dan meminta kepolisian mengungkap dalang utama yang memerintahkan kedua pelaku.
Pada sidang tuntutan pelaku yang diselenggarakan pada 11 Juni 2020, jaksa penuntut umum menuntut majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman pidana terhadap kedua pelaku selama satu tahun penjara.
Tuntutan jaksa tersebut mendapat kecaman luas karena dianggap terlalu ringan dan memihak pelaku.
3. Harun Al Rasyid
Mantan penyelidik KPK Harun Al Rasyid adalah seorang doktor hukum dan salah satu pegawai KPK angkatan pertama.
Ia biasa dipanggil dengan sapaan Cak Harun.
Harun Al Rasyid adalah sosok yang produktif, baik dalam pemberantasan korupsi maupun hal lainnya.
Bahkan, Harun menempati peringkat pertama dalam daftar pegawai paling diwaspadai yang dibuat pimpinan KPK, hingga dijuluki raja OTT KPK.
Pernyataan ini diungkap Harun dalam acara Mata Najwa episode KPK Riwayatmu Kini.
Harun mendengar informasi soal dirinya menjadi pegawai paling diwaspadai dari Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron.
Saat bertemu Ghufron, Harun diberi tahu bahwa namanya menempati nomor satu dalam daftar pegawai yang dibuat Ketua KPK, Firli Bahuri.
Ghufron, kata Harun, kala itu bingung saat tahu nama penyidik KPK ini masuk dalam daftar tersebut.
"Saya nggak ngerti nama Anda itu menjadi urutan teratas dari daftar yang pernah diberikan oleh Pak Firli kepada saya."
"Apa kesalahan saudara? Apa kesalahan syeh selama ini?"
"Saya kan orang baru, tolong saya dikasih tahu," kata Harun mempraktikkan ucapan Ghufron.
Meski tak menjelaskan secara rinci, Ghufron mengungkapkan ada sekitar 30 nama yang masuk dalam daftar itu.
4. Budi Agung Nugroho
Budi Agung Nugroho adalah anggota Polri, sebelum aktif menjadi penyidik KPK.
Berdasarkan informasi, Budi Agung telah diberhentikan dari Polri pada 31 Desember 2014.
Dikutip dari Kontan.coid, Budi Agung Nugroho pernah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri bersamaan dengan Penyidik KPK lainnya Ambarita Damanik.
Hal tersebut lantaran statusnya yang sudah nonaktif namun masih ikut dalam penyidikan kasus korupsi yang menyeret Sutan Bhatoegana.
Namun saat itu tim jaksa KPK Dody Sukmono saat sidang mengatakan walaupun penyidik yang bersangkutan telah diberhentikan dengan hormat oleh Kapolri, namun pengangkatan sebagai penyidik KPK telah dilakukan sebelum pemberhentian dengan hormat oleh Kapolri.
5. Herbert Nababan
Mantan penyidik senior di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bernama Herbert Nababan kini membantu istri berjualan pakaian anak secara daring dan mulai merintis usaha ternak kambing.
Herbert yang bergabung dengan KPK melalui program Indonesia Memanggil (IM) 1 ini telah dipecat Firli Bahuri Cs per 30 September 2021 karena dianggap tidak memenuhi syarat (TMS) untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN) melalui metode tes wawasan kebangsaan (TWK).
Cerita Herbert Nababan dibagikan oleh mantan penyelidik KPK Aulia Postiera di akun Twitter miliknya @paijodirajo.
"Sementara ini, menyibukkan membantu istrinya jualan online dan mulai merintis usaha ternak kambingnya," cuit Aulia, Rabu (13/10/2021).
Aulia sudah mengizinkan cuitannya dinukil Tribunnews.com.
Aulia menuliskan, Herbert adalah seorang sarjana teknik, sarjana hukum, master hukum, dan sedang berencana melanjutkan program doktoral.
"Herbert adalah putra Batak, yang besar di Tanjungpinang. Didikan orang tuanya yang seorang pensiunan guru, membentuk dirinya menjadi seorang pembelajar sejati," kata Aulia.
Kata Aulia, Herbert merupakan salah seorang pegawai yang kaya pengalaman di KPK.
Herbert pernah menjadi fungsional Kedeputian Pencegahan, fungsional Direktorat Pengembangan Jaringan, dan dalam sembilan tahun terakhir menjadi penyidik KPK.
Sebagai penyidik, lanjut Aulia, Herbert sudah menangani banyak perkara korupsi dan pencucian uang.
"Sejak dinonaktifkan pimpinan KPK pada bulan Mei 2021 yang akhir dipecat pada 30 September 2021 lalu, saya intens berkomunikasi dengan Herbert untuk saling berkabar," tulisnya.
"Biasanya pagi hari, Herbert sibuk membantu istrinya untuk packing barang dagangan, kadang dia juga ikut mengantar pesanan," imbuh Aulia.
Menurut penuturan Aulia, sejak dua tahun terakhir, istri Herbert memutuskan berhenti bekerja dan memulai bisnis jualan pakaian dan kebutuhan anak-anak dari rumah.
Istrinya membuka toko daring dengan nama Toko Tatan.
"Sesekali Herbert mengirimkan foto dan videonya sedang bersantai di kebon miliknya kepada saya. Saat ini, ia juga sedang belajar sambil merintis usaha ternak kambing kecil-kecilan," ujar Aulia.
"Herbert termasuk 1 dari 57 pegawai KPK yang dipecat pimpinan KPK dengan cara sewenang-wenang menggunakan propaganda tuduhan Taliban. Herbert adalah seorang Kristen. Ia bukan Taliban, Herbert itu Nababan," ia menekankan.
Di akhir cuitannya, Aulia menyebut bahwa pada Mei 2021, Herbert sedang menyidik perkara dugaan jual beli perkara yang melibatkan eks penyidik KPK AKP Stepanus Robin Pattuju dan mantan Wali Kota Tanjungbalai Muhamad Syahrial.
"Belum sempat dia membongkar siapa saja kelompok Robin serta 'atasan'nya, dia terlanjur nonaktif hingga akhirnya dipecat," tulis Aulia.
Selain mereka berlima ada tujuh nama yang juga berniat mendaftar, mereka adalah Andre Dedy Nainggolan,Andi Abd Rachman Rachim, Rizka Anungnata, Juliandi Tigor Simanjuntak, March Falentino, Farid Andhika dan Waldy Gagantika.
Tunggu hasil gugatan di MA
Praswad yang juga Ketua IM57+ Institute mengatakan, langkah pendaftaran dari 12 mantan pegawai KPK tersebut kini masih menunggu hasil gugatan mereka di Mahkamah Konstitusi (MK).
Praswad dkk diketahui bulan Mei lalu menggugat ke MK perihal batas usia pimpinan mereka.
Dalam gugatannya, mereka berharap MK mengembalikan syarat usia calon pimpinan KPK menjadi 40 tahun serta adanya minimum pengalaman sebagai pegawai KPK selama satu periode kepemimpinan KPK 5 tahun menjadi dasar dalam pengajuan ini.
Praswad mengatakan jika gugatan itu dikabulkan sebelum batas akhir pendaftaran, 12 mantan pegawai KPK tersebut segera mendaftar sebagai capim KPK.
"Betul, tergantung hasil gugatan MK," katanya.
Baca juga: Hari Pertama Pendaftatan Capim dan Dewas KPK, Belum Ada Satupun yang Input Berkas
Resah OTT tak lagi jadi primadona
Eks penyidik KPK Harun Al Rasyid mengungkap alasan dirinya mendaftarkan diri sebagai capim KPK.
Harun menjelaskan OTT merupakan produk paling mutakhir untuk KPK memberantas korupsi.
Operasi senyap itu juga merupakan peringatan paling keras untuk memerintahkan pejabat yang masih korup berhenti beraksi.
"Bukan hanya merosot, tapi jeblok tajam, hampir perkara baru tak ada. OTT tak lagi jadi primadona, padahal OTT itu yang ditakuti koruptor," kata Harun saat dikonfirmasi wartawan, Jumat (28/6/2024).
Harun juga menegaskan tidak akan mengartikan OTT sebagai hiburan belaka jika menjadi pimpinan KPK.
Rencananya bergabung kembali didasari merosotnya kinerja Lembaga Antirasuah.
Mantan raja OTT itu berharap gugatan batas usia capim KPK dikabulkan MK.
Dia langsung tancap gas menyiapkan berkas jika persyaratan yang menjegalnya itu diubah.
"Saya akan daftar capim jika gugatan terkait usia dikabulkan oleh MK," ucap Harun. (*)