TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) RI memastikan Surat Edaran (SE) Jaksa Agung Nomor SE-013/A/JA/12/2011 tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum masih berlaku bagi seluruh kejaksaan di Tanah Air.
Ini disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar merespons banyak sengketa lahan yang berujung saling mengkriminalisasi salah satu pihak.
Tak terkecuali kasus perseteruan antara PT SKB dengan PT GPU.
Konflik itu bahkan mengakibatkan dua orang pekerja atau Satpam PT SKB diduga jadi korban kriminalisasi karena dituduh menghalangi aktivitas pertambangan.
"SE itu sekarang dituangkan dalam Pedoman Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidum," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar saat dihubungi wartawan, Jakarta, Kamis (4/7/2024).
Dalam SE Jaksa Agung itu disebutkan bilamana Kajati dan Kajari menerima SPDP dari penyidik yang objek perkara pidananya berupa tanah maka hendaknya diatensi secara sungguh-sungguh dengan menyikapi secara objektif, profesional dan proporsional sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh manuver-manuver dari oknum-oknum yang memiliki kepentingan pribadi.
Melalui SE itu juga Jaksa Agung telah mendelegasikan kewenangan kepada para Kajari dalam melakukan pengendalian tuntutan perkara tindak pidana umum sehingga dengan kewenangannya diharapkan para Kajati dan Kajari memiliki kemandirian fungsional, keberanian bersikap dan bertindak selaras dengan rasa tanggung jawab profesi yang tinggi.
Poin lainnya, ialah Kajati dan Kajari diminta memberikan bimbingan dan petunjuk kepada para jaksa di wilayah hukum masing-masing.
Ini bilamana menerima SPDP dari penyidik yang objek perkaranya berupa tanah agar jeli memahami anatomi kasusnya dengan menentukan terlebih dahulu status hukum kepemilikan tanah berdasarkan alasan hak yang dimiliki untuk sampai kepada pendapat bahwa perkara yang bersangkutan adalah perkara pidum atau perkara perdata murni.
Pedoman lain yang tak kalah penting dari SE itu ialah jika ada pihak yang melanggarnya, misalnya berupa penyerobotan tanah maka kasus tersebut dapat dipidanakan.
Namun sebaliknya, jika sekiranya kasus yang objeknya berupa tanah yang belum jelas status hukum kepemilikannya sehingga menjadi objek sengketa perdata, demikian juga sengketa-sengketa dalam transaksi jual beli tanah di mana status hukum kepemilikan telah dimiliki oleh penjual.
Selanjutrya terjadi sengketa dalam transaksi jual beli tanah yang bersangkutan maka kasus tersebut berada dalam ranah perdata dan merupakan perkara perdata murni sehingga tidak selayaknya dipaksakan untuk digiring masuk ke ranah pidana umum.
Terkait dengan hal itu, maka jaksa peneliti diminta agar mengidentifikasi permasalahan atas objek tanah dimaksud dengan beberapa variasi modus operandi, antara lain terjadi perebutan suatu lokasi lahan/tanah di mana lahan/tanah dimaksud belum jelas tentang pihak yang memiliki status kepemilikan berdasarkan atas hak yang kuat dan sah.
Lalu terdapat adanya fakta bahwa suatu lahan/tanah memiliki sertifikat ganda yang dikeluarkan oleh pihak Kantor Pertanahan.