Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Negara-negara ASEAN dihimbau untuk tidak lagi bersikap diam menghadapi sikap agresif China di Laut China Selatan (LCS).
Alasannya, jika negara-negara di kawasan ini diam akan memperkuat kecenderungan China melakukan aksi agresif dan bullying terhadap negara-negara yang kedaulatan perairannya sedang berkonflik dengan China di LCS.
Kesimpulan tersebut mengemuka dalam diskusi berjudul “China and Maritime Security in the South China Sea: Indonesian and Philippine Perspectives,” yang diselenggarakan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Kamis 25 Juli 2024.
Forum diskusi yang diselenggarakan secara hibrid tersebut menghadirkan Juru Bicara Coast Guard Filipina (PCG) untuk Laut Filipina Barat merangkap Staf Khusus Komandan Laut Filipina Barat, CG Commodore Jay T Tarriela, Direktur Kerja Sama Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) Laksamana Pertama (Bakamla) Eka Satari, serta pemerhati hubungan internasional Universitas Paramadina Dr. Mohammad Riza Widyarsa.
Diskusi dipimpin oleh pemerhati isu keamanan Universitas Indonesia, Ristian Atriandi Suprianto, dan dimeriahkan dengan pernyataan pamungkas oleh ketua Forum Sinologi Indonesia, Johanes Herlijanto.
Baca juga: Cina-Filipina Sepakati Aturan Sementara Misi Pasokan di Laut Cina Selatan
Dalam pernyataannya, Johanes Herlijanto menilai strategi yang diterapkan Filipina dalam menghadapi aksi-aksi agresif dari China patut untuk dijadikan sebagai pelajaran bagi negara-negara lain yang menghadapi pengalaman serupa.
Dia mengatakan, sikap agresif China itu terlihat dari penerapan taktik yang dikenal sebagai taktik ‘zona abu-abu’ (grey zone) terhadap negara-negara yang memiliki kedaulatan maupun hak berdaulat di perairan yang oleh Cina diakui sebagai miliknya.
“Padahal, pengakuan kepemilikan RRC yang hanya berdasarkan klaim sejarah itu bertentangan dengan hukum laut internasional, khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang telah diratifikasi oleh China sendiri,” tutur Johanes.
“Namun alih-alih mematuhi UNCLOS, RRC malah berupaya meralisasikan pengakuan kepemilikannya itu dengan menjalankan taktik grey zone yang melibatkan tiga komponen yang sebenarnya masih berada di bawah kendali Komite Militer Pusat (CMC) pimpinan langsung Presiden Xi Jinping, yaitu milisi maritim yang beroperasi sebagai nelayan-nelayan sipil, Penjaga Pantai (Coast Guard) Cina, dan Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat,” sambungnya.
Menurut Johanes, pengakuan sepihak China yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus itu sebenarnya telah disanggah oleh putusan Mahkamah Arbitrase Internasional yang diajukan Filipina pada tahun 2016 yang lalu. Namun, negara itu bukan hanya bersikeras bahwa sebagian besar wilayah LCS adalah miliknya, tetapi juga melanjutkan taktik greyzone di atas.
Filipina menjadi salah satu sasaran, khususnya dalam dua atau tiga tahun terakhir ini. Namun Johanes mengingatkan bahwa selain Filipina, Vietnam dan bahkan Indonesia pun kerap menjadi sasaran dari aktivitas greyzone China itu.
Sementara itu, dalam pemaparannya, Commodore Jay T Tarriela mengemukakan secara detil strategi yang diambil oleh pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Presiden Bongbong Marcos, Jr.
“Berdasarkan perenungan terhadap strategi-strategi yang telah diterapkan oleh presiden-presiden sebelumnya, Presiden Marcos memutuskan untuk mencanangkan strategi transparansi, yang pada hakikatnya bertumpu pada upaya mengekspos aksi-aksi agresif China di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina,” tutur Commodore Tarriela.
Ia menjelaskan bahwa di bawah payung strategi transparansi itu, instansi-instansi penegakan hukum di Filipina bersatu dan berkoordinasi dengan baik. Mereka bahkan mengundang awak media untuk turut serta memantau patroli bersama mereka.
“Sebagai akibatnya, rakyat Filipina dapat mendengar fakta-fakta kebenaran dari pemerintah tanpa ada satupun yang disembunyikan,” ujarnya.
Masih menurut Commodore Tarriela, strategi transparansi itu menyebabkan rakyat Filipina bersatu dan memberikan dukungan pada pemerintah dalam menghadapi tindakan agresif Cina. “Bahkan kongres pun memberikan dukungannya,” tuturnya.
Meski demikian, Commodore Tarriela beranggapan bahwa selain dari masyarakat Filipina sendiri, dukungan dari negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara sangat penting bagi Filipina.
“Negara-negara di kawasan ini harus pula mengekspos tindakan-tindakan agresif China, karena negara-negara kawasan, seperti Indonesia, Malaysia, dan bahkan Vietnam telah menjadi sasaran dari tindakan agresif tersebut,” pungkasnya.
Pernyataan Commodore Jay T. Tarriela di atas senada dengan pandangan Laksamana Pertama Eka Satari yang menekankan pentingnya kerja sama antara aparat penegak hukum dari pelbagai negara.
Menurut Laksma Satari, tak ada satupun negara yang dapat menangani isu maritime sendirian. Dia berpandangan bahwa kerja sama antar negara sangatlah diperlukan.
Laksma Satari merujuk pada Forum Penjaga Pantai ASEAN (ASEAN Coast Guard Forum) sebagai contoh dari kerja sama antara negara-negara di kawasan.
Forum yang digagas sejak 2022 itu bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dalam membangun kapasitas, patroli maritime, dan operasi antara instansi penjaga pantai negara-negara ASEAN .
Pentingnya kerja sama antara instansi penegak hukum dan keamanan negara-negara ASEAN juga ditekankan oleh Mohammad Riza Widyarsa.
Pakar hubungan internasional itu menilai bahwa kerja sama antara negara-negara yang memiliki kepentingan yang sama dengan Indonesia dan Filipina akan dapat meredam prilaku agresif Cina di LCS.
Menurutnya, kerja sama semacam itu sebenarnya telah terbentuk dalam sekitar sepuluh tahun terakhir. Selain ASEAN Coast Guard Forum, pada tahun 2013 telah dibentuk ‘Inisiatif Hukum Laut Asia Tenggara’ (Southeast Asia Maritime Law Initiative) yang merupakan insiatif kerja sama antara instansi penegakan hukum laut Amerika Serikat (AS), Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Malaysia.
Menurut Widyarsa, kerja sama antar negara-negara di dalam ASEAN sendiri sangat penting dalam menghadapi China dan perilaku agresifnya, karena mengandalkan kekuatan luar (seperti AS) saja tidaklah cukup.
“Kerja sama antara negara-negara di kawasan sangat penting dan efektif, khususnya ketika sedang dibutuhkan respons yang cepat,” pungkasnya.
Akhirnya, pandangan yang mengedapankan pentingnya negara-negara ASEAN bersatu padu dalam menghadapi sikap agresif China juga digemakan oleh Ristian Atriandi Suprianto.
Menurut pemerhati isu keamanan yang sedang menyelesaikan studi doktoral di Australian National University itu, isu dengan China, seperti yang sedang dihadapi Filipina saat ini, bukan hanya relevan bagi Filipina, tetapi juga bagi negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.