TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sembilan bulan menjalani status tersangka, apa kabar mantan Ketua KPK, Firli Bahuri?
Sembilan bulan berlalu tapi hingga kini kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi, belum naik sidang.
Untuk menyegarkan ingatan, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka pada 22 November 2023.
Ketika itu, penyidik menyatakan telah cukup alat bukti untuk menetapkan Ketua KPK tersebut dalam kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi terhadap Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian.
Lalu pada akhir 2023, penyidik Polda Metro Jaya telah melimpahkan berkas perkara kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Namun Kejaksaan mengembalikan kepada penyidik Polda Metro Jaya, hingga saat ini belum dilimpahkan kembali.
"Terkait dengan penguatan alat bukti masing-masing unsur misalkan, tapi perkembangannya silakan tanyakan penyidik," kata Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Rudi Margono.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad, menilai dikembalikannya berkas perkara Firli Bahuri kepada penyidik Polda Metro Jaya karena merujuk pada Putusan MK Nomor 21 Tahun 2014 tentang Alat Bukti.
“Ini kan alat bukti dalam konteks putusan MK 21 2014 itu harus memenuhi unsur kualitas dan kuantitas gitu,” ungkapnya.
Menurut dia, jaksa sepertinya berpandangan bahwa alat bukti materiil itu adalah dari sisi kualitas.
"Jaksa berpandangan tidak hanya sekedar memeriksa saksi, ahli, surat, petunjuk atau keterangan terhadap tersangka. Tapi ya alat bukti-alat bukti tadi itu harus berkesesuaian antara satu dengan yang lain. Saksi harus berkesesuaian dengan saksi yang lain, alat bukti juga harus berkesesuaian dengan tidak pidananya gitu loh," ujarnya.
Sehingga, menurut Suparji, Jaksa menilai bahwa alat bukti yang ada atau yang telah dikumpulkan penyidik selama ini hanya sekadar kuantitas saja, tapi secara kualitas belum terpenuhi.
“Jadi tidak ada korelasi dan relevansi dengan perkara yang sedang diperiksa gitu loh, sekedar alat bukti saja gitu,” ujarnya.
Suparji mengatakan, asas hukum pidana adalah mencari kebenaran materiil. Jadi, menurut Suparji, jika syarat atau unsur materiilnya tidak dapat terpenuhi, maka tidak akan ada kebenaran materiil yang ditemukan.