Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan uji materiil Peraturan Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Dikutip dari situs resmi MA, Senin (19/8/2024), gugatan tersebut teregister dengan nomor 26 P/HUM/2024 dengan tanggal masuk 25 April 2024.
Dalam gugatan ini, pihak Termohon adalah Dewan Pengawas KPK.
Adapun gugatan ini tak terlepas dari kasus etik Nurul Ghufron yang diproses Dewas KPK.
"Tolak permohonan keberatan HUM," bunyi amar putusan.
Gugatan diputus pada Senin (12/8/2024) dengan susunan majelis terdiri dari Irfan Fachruddin sebagai ketua, dengan hakim anggota yakni Lulik Tri Cahyaningrum dan Cerah Bangun.
"Usia perkara 29 hari. Lama memutus 22 hari," bunyi petikan informasi itu.
Baca juga: Nurul Ghufron Lolos Seleksi Administrasi Capim KPK: Berharap Terpilih yang Terbaik
Belum ada keterangan dari Nurul Ghufron terkait putusan MA dimaksud.
Nurul Ghufron sebelumnya menggugat Peraturan Dewas Nomor 3 Tahun 2021 dan Peraturan Dewas Nomor 4 Tahun 2021 ke MA.
"Sebelumnya perlu kami sampaikan bahwa sebelum persidangan dugaan pelanggaran etik dilaksanakan, kami telah mengajukan uji keabsahannya persidangan ini," ucap Ghufron dalam keterangannya, Kamis (2/5/2024).
"Yaitu landasan hukum pemeriksaan sidang etik ini, sedang diajukan Hak Uji Materiil terhadap Peraturan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Peraturan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Persidangan Pelanggaran Kode Etik dan Kode Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana terdaftar dalam kepaniteraan Mahkamah Agung pada tanggal 24 April 2024," lanjut dia.
Baca juga: Nurul Ghufron Bersyukur Polri dan Kejagung tak Menutup Pintu Koordinasi: Kami Anggap Itu Komitmen
Lewat gugatannya tersebut, Ghufron kala itu meminta sidang etiknya ditunda.
Dia juga menyinggung tentang laporannya ke MA tersebut.
Menurut Ghufron, laporan kepadanya terkait kasus etik itu telah kedaluwarsa dan tidak selayaknya naik proses sidang.
"Karena itu, karena baik tindakannya memeriksa saya yang dalam perspektif saya laporan dimaksud telah kedaluwarsa, maupun peraturan yang mendasarinya itu sedang saya uji ke Mahkamah Agung, maka secara hukum saya berharap [sidang etik] itu ditunda," katanya.
Permohonan untuk meminta sidang etiknya di Dewas KPK itu ditunda juga mempertimbangkan pertimbangan hukum pada Pasal 55 UU Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal 55 UU MK itu sebelumnya juga sempat digugat di MK.
Berikut bunyi pasal yang dimaksud:
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Gugatan itu diajukan Abda Khair Mufti dan dua Pemohon lainnya selaku pegawai swasta.
MK pun mengabulkan gugatan UU tersebut, yaitu digantinya frasa 'wajib dihentikan' menjadi 'ditunda pemeriksaannya'.
Sehingga, pasal itu berubah bunyinya menjadi:
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung ditunda pemeriksaannya apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
"Mendasari putusan MK tersebut, bahwa ketentuan yang mendasari pemeriksaan sidang etik ini sedang diajukan uji materi ke Mahkamah Agung, oleh karena itu secara hukum semestinya penerapan norma yang sedang diuji tersebut ditunda sampai ada putusan Mahkamah Agung," kata Ghufron.
Adapun kasus etik Ghufron yang diusut Dewas KPK itu yakni terkait dirinya diduga melanggar etik karena penyalahgunaan wewenangnya untuk membantu mutasi pejabat di Kementerian Pertanian (Kementan).
Namun, Ghufron berdalih yang dilakukannya bukan intervensi, melainkan meneruskan keluhan saja terkait mutasi anak kerabatnya itu dari Jakarta ke Malang, yang tak kunjung disetujui.
Akan tetapi, hal ini dianggap Dewas KPK sebagai bentuk penyalahgunaan pengaruh.
Sebab, Ghufron melakukan itu dalam kapasitasnya menjabat sebagai pimpinan KPK.
Bahkan, saat itu Ghufron juga melawan dengan menggugat Dewas KPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Alasannya, Dewas KPK mengusut dugaan pelanggaran etik yang sudah kedaluwarsa.
Menyoal gugatan itu, PTUN mengeluarkan putusan sela yang membuat proses etik terhadap Ghufron dihentikan sementara.
Padahal Dewas KPK hanya tinggal membacakan putusannya saja pada 21 Mei 2024 lalu. Hingga kini, kasusnya masih menggantung.