News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Wacana Pembentukan Mahkamah Etika Nasional, Jubir KY: Perlu Komitmen Semua Komponen Pemerintahan

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Anggota dan Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), Mukti Fajar Nur Dewata, dalam konferensi pers secara daring, di Jakarta, pada Jumat (12/7/2024).

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) menerima ide mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengenai pembentukan Mahkamah Etika Nasional.

Anggota sekaligus Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, memahami gagasan Jimly agar Komisi Yudisial tidak hanya menjadi lembaga etik untuk hakim saja, melainkan juga untuk semua pejabat negara.

Baca juga: Di Hadapan Jokowi, Puan Tekankan Pentingnya Etika Politik

"Dari kalimat beliau ya bukan berarti membentuk lembaga baru. Namun memperluas eksistensi KY. Begitu yang saya pahami," kata Mukti, saat dihubungi Tribunnews.com, pada Sabtu (24/8/2024).

KY menerima secara terbuka gagasan tersebut. 

Namun demikian, kata Mukti, apa yang disampaikan Jimly itu baru gagasan. Sebab, ia menjelaskan, perlu adanya komitmen yang sama dari semua komponen pemerintahan agar ide diadakannya Mahkamah Etika Nasional tersebut dapat terealisasi.

Baca juga: Elite PKB Singgung Etika PBNU Soal Rencana Panggil Cak Imin

"Ya itu baru gagasan. Secara gagasan ya oke saja. Asalkan memang ada political will dari semua komponen pemerintahan dengan komitmen yang sama," kata Mukti Fajar.

Sebelumnya, eks Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie mengusulkan dibentuknya lembaga bernama Mahkamah Etika Nasional.

Hal ini disampaikan Jimly dalam acara peringatan HUT ke-19 Komisi Yudisial (KY) yang bertajuk 'Refleksi Kelembagaan Komisi Yudisial' di gedung Komisi Yudisial, Jakarta, pada Selasa (24/8/2024).

Awalnya Jimly menyoroti mengenai pentingnya fungsi KY sebagai lembaga pengawas hakim. Ia mengatakan, fungsi pengawasan dan penegakkan etik tersebut sebaiknya tidak hanya pada hakim, tapi juga bisa berlaku pada pejabat publik lainnya.

Terkait hal itu, ia kemudian menyampaikan ide pembentukan lembaga dengan nama Mahkamah Etika Nasional. 

Menurutnya, tujuan diadakannya lembaga etik tersebut untuk memberi kesempatan individu yang dijatuhi sanksi etik agar dapat melakukan kasasi ke lembaga pengadilan kode etik yang berskala nasional.

"Bisa enggak kita manfaatkan pintu masuk konstitusionalnya adalah KY ini. Ditambahin perilaku hakim dan pejabat publik lainnya. Bukan cuma mikirin mengenai hakim, tapi semua pejabat publik lainnya," ucap Jimly.

Ia menjelaskan, pejabat publik yang dimaksudnya tersebut, meliputi pejabat pemerintahan, dan pejabat profesi yang menyangkut kepentingan publik, misalnya seperti profesi akuntan.

Jika Mahkamah Etika Nasional itu dapat terealisasi, Jimly menilai, hal ini akan memperbaiki tatanan sistem etika di Indonesia.

Baca juga: Etika Negara Demokrasi, Membangun Politik, Hukum dan Ekonomi Bermartabat

Terlebih, tambahnya, saat ini setiap kementerian dan lembaga pasti memiliki lembaga peradilan etik internal. Meski semuanya bergerak masing-masing.

"Sekarang hampir semua lembaga negara kita sudah punya kode etik. Sekarang, semua undang-undang yang mengatur tentang lembaga negara dan organisasi profesi, pasti di dalamnya ada kode etik. Tapi ini belum terpadu," jelas Jimly.

Lebih lanjut, ia memberikan contoh kasus etika yang dapat ditangani Mahkamah Etika Nasional, jika nantinya terbentuk. Dalam hal ini, kasus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang resmi memberhentikan mantan Menteri Kesehatan dr Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI.

"Contoh dokter Terawan diberhentikan oleh IDI, nah ini kan mantan menteri. Jadi waktu sidang terakhir oleh IDI enggak mau datang dia. Maka gara-gara dia tidak mau datang, dipecat dia," imbuh Jimly.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini