Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemimpin yang muncul saat ini di Indonesia tidak melalui proses alami dan natural melainkan hasil rekayasa politik. Imbasnya, level kepemimpinannya pun dipertanyakan.
Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Syamsul Arifin mengatakan fenomena ini mengkonfirmasi pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Abraham Lincoln yang menyebut karakter seseorang bisa dilihat saat diberi kekuasaan.
Pergeseran paradigma kemunculan pemimpin ini menunjukkan adanya pengaruh negatif kekuasaan terhadap etik.
"Kekuasaan memiliki sifat adiktif dan potensi merusak (corruptible),” ujarnya, Senin(2/9/2024).
Baca juga: Sosiolog: Judi Online Sulit Diberantas, Hanya Bisa Dikurangi Korbannya
Menurut Syamsul, pemimpin yang sebenarnya diproyeksikan untuk mengambil alih peran dan menjaga, dan mengatur dengan kemampuannya.
"Akan tetapi, saat ini faktanya banyak orang yang datang secara tiba-tiba dengan adanya rekayasa dan kemudian diusulkan menjadi pemimpin," ujarnya.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Budaya dan Perubahan Universitas Muhammadiyah Surakarta(UMS), Yayah Khisbiyah mengatakan adanya kerapuhan etika berkaitan dengan rendahnya tingkat empati masyarakat di Indonesia.
Hal itu dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2017 terhadap 4 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Jerman, dan Israel.
Penelitian yang melibatkan anak usia taman kanak-kanak (TK) itu menunjukkan, Indonesia berada di barisan bawah, bahkan di bawah Malaysia.
“Rendahnya empati ini berkaitan dengan korupsi terjadi di semua lini di Indonesia,” ujarnya.
Rendahnya empati dan maraknya kasus korupsi, lanjut Yayah, juga berkaitan dengan teori psikologi bernama dari triad.
Teori itu mengidentifikasi individu dengan tiga sifat kegelapan, yaitu narsisme, perilaku manipulatif, dan sifat psikopat yang berkaitan dengan lemahnya empati.
Bersama dengan BPIP, Yayah sempat membuat model pembelajaran Pancasila yang lebih aplikatif untuk perguruan tinggi agar mengurangi permasalahan etika tersebut.
“Pendidikan Pancasila pada era sekarang harus dilakukan dengan pendekatan yang mudah diakses dan tidak membosankan khususnya berfokus pada revolusi mental. Perguruan tinggi banyak yang berminat dengan pendekatan ini,” ujarnya.