TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam persoalan penyelarasan etika, ideologi, dan pembangunan sosial.
Terkait hal itu Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, kerapuhan etika sudah lama menjadi masalah di Indonesia.
Baca juga: RI Punya 129 Juta Anak Muda, Kepala BPIP Khawatir Jika Tak Paham Pancasila: Membahayakan Negara
Menurutnya, etika yang rapuh sejak era Orde Baru telah melahirkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masih berlanjut hingga kini. Meskipun, reformasi diharapkan membawa perubahan melalui TAP MPR RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, tantangan etika tetap ada.
“Terjadi flexing, pamer kemewahan, suka bohong, pemborosan yang luar biasa sehingga yang terjadi tumpulnya Trisakti. Kedaulatan politik tidak secara substansi dilaksanakan terkadang didikte juga oleh ambisi pribadi,” kata Mahfud, Senin (2/9/2024).
Baca juga: Gus Jazil Tekankan Pentingnya Nilai-Nilai Pancasila Menghadapi Era Disrupsi
Salah satu upaya untuk menghapus persoalan etika itu ialah melalui penguatan Pancasila. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia itu menjelaskan, Pancasila punya 2 (dua) fungsi, pertama berfungsi sebagai dasar negara dan fungsi selain dasar negara.
Fungsi sebagai dasar negara, Pancasila merupakan sumber pembentukan hukum di Indonesia. Sementara Pancasila yang berfungsi sebagai selain dasar negara, Pancasila menjadi media pemersatu bangsa, pedoman hidup bangsa, dan pandangan hidup bangsa.
“Fungsi Pancasila selain dasar negara ini adalah nilai moral dan etik. Daya ikatnya adalah kesadaran moral, takut, risih sehingga sanksinya otonom. Yang terjadi saat ini, orang hanya takut pada Pancasila sebagai dasar negara, sehingga bisa diubah sewaktu-waktu oleh penyelenggara negara,”ujarnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, Pancasila harus diletakkan kembali sebagai ideologi berbasis kesadaran historis.
“Bahwa Ideologi itu lahir dari berbagai pemikiran, islamisme, nasionalisme, humanisme, demokrasi, dan marxisme,” katanya.
Lewat kesadaran historis terhadap Pancasila itu, proses demokratisasi di Indonesia harus dipastikan tidak melayani segelintir orang saja tapi melayani kepentingan rakyat. “Sistem hubungan kekuasaan cenderung oligarki, terbukti pada masa orde baru tidak menguntungkan bagi kepentingan masyarakat, hanya memunculkan ketimpangan sosial,” ujarnya.
Di sisi lain, budayawan, Garin Nugroho menyoroti internet yang dulu dianggap sebagai ruang publik yang demokratis kini berubah menjadi arena politik massa yang manipulatif. Sutradara sejumlah film itu mencatat hampir 80 persen anak muda menggunakan internet, namun banyak dari mereka terjebak dalam politik pasar yang mengutamakan kepentingan ekonomi dan kekuasaan, bukan produktivitas masyarakat.
“Perlu ada strategi etika yang jelas untuk mengatasi fenomena ini dan memastikan bahwa ruang digital dapat digunakan secara konstruktif,” katanya sambil menegaskan ruang maya saat ini tanpa panduan nilai kebangsaan.
Baca juga: Aksi demonstrasi memanas, mengapa Garuda Pancasila digunakan dalam peringatan darurat Indonesia?
Sementara Siti Musdah Mulia dari Indonesian Conference on Religion and Peace (ICPR), mengatakan, pentingnya reformasi budaya dan undang-undang untuk mengatasi diskriminasi dan intoleransi. Musdah juga menggarisbawahi perlunya reinterpretasi ajaran agama agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang mengedepankan kesetaraan, cinta kasih, dan penghargaan terhadap lingkungan.
“Reform sejumlah undang-undang/peraturan yang ada yaitu sejumlah perundang-undangan masih ada yang diskriminatif. ICRP pernah mendata, terdapat 147 undang-undang/peraturan perundang-undangan yang mengandung unsur diskriminatif dan Intoleran,” pungkasnya.