News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Perlu Pemisahan Fakta dan Opini sehingga Masyarakat Bisa Menyikapi Isu HAM Masyarakat Muslim Uighur

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Erik S
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Narasumber Focus Group Discussion (FGD) yang bertema “Mengurai Konflik Uighur: Pendekatan Moderat untuk Mewujudkan Kebebasan dan Perdamaian,” yang diadakan di Hotel Alia Cikini, Jakarta Pusat

Laporan Wartawan Tribunnews.com Eko Sutriyanto 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Humanity United Project Indonesia (HUPI) menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang mengusung tema Mengurai Konflik Uighur: Pendekatan Moderat untuk Mewujudkan Kebebasan dan Perdamaian di Jakarta belum lama ini.

Sejumlah tokoh internasional dan nasional hadir seperti Omer Kanat dari Uighur Human Rights Project (UHRP),  Adil Cinar dari World Uighur Congress (WUC), Mahfud Khanafi dari Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI MPO), serta aktivis perempuan Diana Putri.

Direktur HUPI, Hotmartua Simanjuntak mengatakan, diskusi dirancang untuk memisahkan antara fakta dan opini sehingga masyarakat dapat lebih bijaksana dalam menyikapi permasalahan hak asasi manusia terutama yang menimpa Muslim Uighur.

Baca juga: Presiden Kongres Uyghur Dunia Dilaporkan Atas Dugaan Pelecehan Seksual

"Acara ini adalah upaya kami untuk mengurai konflik Uighur agar publik dapat memahami mana yang benar dan mana yang tidak," kata Hotmartua dalam keterangannya, Rabu (4/9/2024).

Hotmartua menegaskan, HUPI tidak berpihak pada satu pihak manapun, melainkan berdiri di atas landasan kemanusiaan.

Berbagai fakta disampaikan oleh para pemateri dalam diskusi itu.

Omer Kanat mengungkapkan bahwa pemerintah Cina telah melakukan upaya sistematis menghapus identitas Islam di Xinjiang.

Adil Cinar membagikan pengalaman pribadi mengenai keluarganya yang masih berada di kamp konsentrasi di Xinjiang.

Mahfud Khanafi dari PB HMI MPO membahas keterbatasan Indonesia dalam merespon isu ini akibat hubungan diplomatik dengan Cina, sementara aktivis perempuan Diana Putri menyoroti penderitaan perempuan Uyghur di Xinjiang.

"HUPI menegaskan bahwa forum ini dimaksudkan sebagai ruang dialog yang terbuka, bukan untuk mendeskripsikan satu pihak saja, tetapi untuk mengeksplorasi fakta dari berbagai perspektif," katanya.

Hotmartua menegaskan HUPI berkomitmen pada nilai-nilai kemanusiaan dan etika, termasuk dalam menyambut tamu dan menjamu mereka dengan baik sebagai bagian dari adab yang harus dijunjung tinggi.

Baca juga: Amerika Serikat Tolak Barang Impor dari China Hasil Produksi Kerja Paksa Muslim Uighur

Uighur adalah etnis minoritas di China yang secara kultural merasa lebih dekat terhadap bangsa Turk di Asia Tengah, ketimbang mayoritas bangsa Han.

Kendati ditetapkan sebagai daerah otonomi, Xinjiang tidak benar-benar bebas dari cengkraman partai Komunis.

Baru-baru ini Beijing mengeluarkan aturan baru yang melarang warga muslim Uighur melakukan ibadah atau mengenakan pakaian keagamaan di depan umum.

Larangan tersebut antara lain mengatur batas usia remaja untuk bisa memasuki masjid menjadi 18 tahun dan kewajiban pemuka agama untuk melaporkan naskah pidatonya sebelum dibacakan di depan umum.

Baca juga: HRW: Cina Ubah Ratusan Nama Desa-desa Uighur

Selain itu upacara pernikahan atau pemakaman yang menggunakan unsur agama Islam dipandang "sebagai gejala radikalisme agama."

Keberadaan bangsa Uyghur di Xinjiang dicatat oleh sejarah sejak berabad-abad silam.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini