TRIBUNNEWS.COM - Petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) dan Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) meminta Kementerian Pertanian agar melindungi keberlangsungan tembakau dan cengkeh di tengah regulasi baru yang mengancam mereka.
DPN APTI dan APCI telah menyerahkan surat kepada Kementan terkait permintaan mereka itu dan telah diterima Direktur Tanaman Semusim dan Tahunan Kementerian Pertanian (Kementan RI), Rizal Ismail dalam gelaran Talkshow Perkebunan Expo 'Bunex', di ICE BSD, Tangerang Selatan, Kamis (12/9/2024).
Seperti diketahui, saat ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah mengebut Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), salah satunya mengenai ketentuan kemasan rokok polos tanpa merek.
RPMK ini merupakan aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 yang juga menuai penolakan dari berbagai pihak, termasuk dari petani.
Sejumlah aturan didalamnya dinilai eksesif sehingga dapat mengancam mata pencaharian jutaan petani serta akan menggerus kontribusi industri tembakau terhadap perekonomian nasional maupun daerah.
"Kami Kementan secara regulasi akan terus melindungi keberlangsungan komoditas dan petani tembakau serta cengkeh. Kontribusi tembakau dan cengkeh sangat besar. Ini perlu disuarakan dan ini akan menjadi concern kita bersama," ujar Rizal Ismail lewat keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Jumat (13/9/2024).
"Untuk ke depan, kita akan terus mengawal. Masih ada ruang dan waktu untuk perbaikan. Kami setiap saat di Kementan terbuka untuk menerima masukan," sambung Rizal.
"Setelah Bunex kita akan mengundang rekan-rekan asosiasi untuk membahas dan menyampaikan masukan lagi terutama kepada Presiden kita yang baru terpilih karena beliau sangat pro petani. Harapannya agar keluh kesah kita dapat didengar," tegasnya.
Baca juga: Industri Rokok Terancam PP Kesehatan dan Peraturan Turunannya, Buruh Bakal Turun ke Jalan
Kusnasi Mudi, Sekretaris Jenderal DPN APTI menuturkan saat ini adalah masa puncak panen tembakau di seluruh Indonesia. Seluruh petani tembakau di 15 provinsi sedang menuai hasil panen dengan penuh optimisme.
Namun, sayangnya di tengah perasaan riang gembira tersebut, mereka dihadapkan pada ketakutan dan tekanan atas regulasi eksesif yakni kemasan rokok polos tanpa merek di RPMK yang masih dalam tahap penyusunan, dan PP No. 28 tahun 2024 yang sudah terbit.
"RPMK dan PP. No 28 Tahun 2024 ini mengabaikan sentralitas dan strategis komoditas tembakau. Ingat, ada 2,5 juta petani tembakau yang akan terdampak langsung dari pasal-pasal pertembakaun di peraturan ini," ungkapnya.
"Padahal, hanya tembakau satu-satunya andalan mata pencaharian petani yang masih bisa tumbuh di saat kemarau. Hanya tembakaulah yang bisa diandalkan. Secara otomatis, aturan kemasan polos dan PP ini akan memukul petani," tegas Muhdi.
Ia mengungkapkan kekecewaan dan keberatannya atas wacana kemasan rokok polos tanpa merek dan berbagai pasal lainnya dalam PP. No 28 tahun 2024 yang memukul sektor pertembakauan.
Menurutnya, hal ini menunjukkan ketidaksinambungan penyusun kebijakan, ketika di satu sisi tembakau diusulkan bahwa tembakau sebagai komoditas strategis, di sisi lain ada aturan yang memberatkan.
"Kami, berharap pemerintah dapat menghentikan segala proses aturan turunan PP ini dan meninjau ulang pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif di PP. No 28 Tahun 2024, hingga masukan petani diakomodir," ujarnya.
Untuk diketahui, saat Indonesia memiliki perkebunan tembakau seluas 191,8 ribu hektare (ha) pada 2023. Luasnya berkurang sekitar 4,38 persen atau 8,8 ribu ha dari 2021 yang sempat mencapai 200,6 ribu ha.
Sepanjang 2023, hanya ada 15 provinsi yang memiliki perkebunan tembakau. Adapun Jawa Timur menjadi provinsi dengan perkebunan tembakau terluas se-Indonesia, yakni 90,6 ribu ha.
Proporsinya setara 47,23 persen dari total luas perkebunan nasional. Berikutnya ada Jawa Tengah yang memiliki perkebunan tembakau seluas 50 ribu ha. Diikuti NTB dan Jawa Tengah yang masing-masing memiliki 34,3 ribu ha dan 8 ribu ha.
Baca juga: Kemenkes Kebut Sahkan RPMK, AMTI: Pemangku Kepentingan Tembakau Tak Dianggap
Senada, I Ketut Budhyman Mudara, Sekjen APCI mengatakan keberadaan PP.No 28 Tahun 2024 dan upaya perampungan RPMK nya jelas mengancam posisi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara eksportir cengkeh terbesar di dunia.
Indonesia mencatat rata-rata volume ekspor tahun 2017-2021 sebesar 24,45 ribu ton atau memberikan kontribusi sebesar 32,18 persen total volume ekspor cengkeh dunia.
"Seluruh hasil produktivitas 1,5 juta petani cengkeh di Indonesia diserap 97 persen-nya untuk industri rokok kretek. Dan, harus diingat pula, bahwa tanaman cengkeh di Indonesia lebih kurang 97 persen diusahakan oleh rakyat dalam bentuk perkebunan rakyat yang tersebar di seluruh provinsi. Efek dari keberadaan aturan yang tidak adil ini sangat besar bagi nasib petani cengkeh ke depannya," seru Budhyman.
Pria asal Bali ini berharap pemerintah dapat benar-benar memproteksi tembakau dan cengkeh sebagai komoditas dwi tunggal yang diserap dalam industri hasil tembakau.
Apalagi mengingat kontribusinya signifikan bagi penerimaan negara serta memiliki dampak berganda bagi perekonomian nasional dan daerah.
"Menanam cengkeh dan tembakau bukan sekadar soal urusan ekonomi. Para petani di berbagai daerah ini sedang berjuang mempertahankan keberlangsungan tanaman yang telah menjadi warisan, budaya dan sumber mata pencaharian utama mereka," tambahnya.
Sebelumnya, APTI dan APCI berulang kali menyuarakan aspirasinya kepada pemerintah untuk menolak aturan kemasan rokok polos tanpa merek hingga pasal-pasal tembakau yang bermasalah dalam PP No. 28 Tahun 2024.
APTI dan APCI juga turut menandatangani pernyataan bersama dengan 20 asosiasi industri hasil tembakau lainnya untuk menolak ketentuan standardisasi berupa kemasan polos dengan menghilangkan identitas merek produk tembakau dalam RPMK yang akan segera disahkan oleh Kementerian Kesehatan RI dalam waktu dekat.
Sepanjang proses perumusan aturan tembakau yang berdampak luar biasa, APTI dan APCI sangat prihatin pada minimnya keterlibatan petani Indonesia. (*)