Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy N Mandey mengatakan regulasi soal zonasi larangan penjualan produk tembakau 200 meter dari satuan pendidikan sulit, untuk diimplementasikan di lapangan.
Regulasi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan tersebut juga dinilai berpotensi menciptakan praktik pungutan liar (pungli).
Baca juga: Ada Aturan Iklan dan Kebijakan Kemasan Polos Produk Tembakau, Industri Periklanan Bakal Terpukul
Terlebih dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) juga tertuang aturan mengenai kemasan rokok polos tanpa merek.
Menurutnya dua kebijakan ini merupakan kombinasi yang berpotensi meningkatkan konsumsi rokok ilegal, dan di sisi lain pengawasan regulasi tersebut sulit diterapkan di lapangan.
"Kami berharap ada balancing antara ekonomi dan kesehatan, di mana peraturan ini semestinya menjadi ranah pemerintah untuk mempertimbangkan pelaksanaan teknisnya. Karena penting sekali untuk meninjau adanya pengawasan yang efektif dan mempertimbangkan nasib pedagang yang selama ini sudah taat di lapangan," kata Roy dalam keterangannya, Jumat (13/9/2024).
Aprindo sendiri sudah menyuarakan kekhawatiran ini dengan bersurat ke kementerian terkait untuk meminta adanya pengkajian ulang regulasi.
Pihaknya juga menyoroti dampak negatif peraturan itu terhadap pedagang kecil dan pekerja.
Pasalnya regulasi tersebut tidak memiliki keseimbangan antara aspek kesehatan dan ekonomi.
"Kami berharap ada keseimbangan antara aspek kesehatan dan ekonomi dalam regulasi ini," katanya.
Baca juga: Aturan Baru Mengancam, Petani Minta Kementan Lindungi Keberlangsungan Cengkeh dan Tembakau
Pemerintah kata Roy, semestinya menyoroti persoalan dari sisi hulu ke hilir, dan imbasnya jika kebijakan itu diterapkan efektif, mulai dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) pekerja sektor tembakau hingga peningkatan kemiskinan imbas turunnya ekonomi pelaku usaha kecil.
"Pemerintah perlu menyoroti dari sisi hulu ke hilirnya, lalu imbasnya seperti PHK dan kemiskinan yang makin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, kondisi kesehatan ini semestinya tidak dikait-kaitkan dengan ekonomi," jelas dia.