TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik kebijakan mengenai kebijakan ekspor pasir laut yang baru-baru diresmikan oleh pemerintah terus menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak.
Hal itu tidak terlepas dari sorotan Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam atau Hima Persis terkait kebijakan tersebut.
Sebelumnya, PP Hima Persis melalui Ketua Bidang Kemaritiman menyatakan sikap menolak kebijakan tersebut dilaksanakan karena lebih banyak potensi kerugian yang akan diterima.
"PP Hima Persis masih konsisten menolak kebijakan ini diresmikan oleh pemerintah, kami menilai bahwa kebijakan ini akan memiliki dampak jangka panjang pada ekonomi, ekologi, sosial begitu juga pada politik" ujar Tommy Yandra selaku Kabid Kemaritiman PP Hima Persis, Minggu (22/9/2024).
Penolakan kebijakan tersebut oleh Hima Persis juga ditanggapi salah satu pelaku usaha pengelolaan sedimentasi pasir laut, Jusri Sabri yang menilai Hima Persis keliru dalam memahami secara keseluruhan terkait kebijakan tersebut.
Dalam hal ini Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Hima Persis Kepri Rostami juga menyoroti statement yang diberikan Jusri terkait kesiapan debat untuk membahas kebijakan ini.
"Kita siap berdebat membahas kebijakan ini jika memang ada pihak-pihak yang merasa kebijakan ini tidak merugikan pada berbagai sektor. Seperti yang disampaikan Jusri Sabri bahwa beliau siap berdebat maka baiknya kita berdebat saja untuk menilai mana yang lebih tepat untuk menanggapi kebijakan ini," ujar Rostami.
Pihaknya menyatakan siap untuk menyusun agenda debat tentang hal ini. Rostami menilai hal ini harus dibahas secara keseluruhan.
Mengenai tudingan Jusri Sabri bahwa statement Hima Persis dianggap keliru mengenai kebijakan eksploitasi pasir laut tidak akan merusak lingkungan, pihaknya siap membuka data dari tahun 1970-an sampai dengan kebijakan ekpor pasir laut dihentikan oleh presiden megawati.
"Eksploitasi pasir laut telah menimbulkan dampak yang signifikan baik secara ekonomi, ekologis maupun politik. Oleh karena itu, maka keluarlah Kepmendag No. 2 Tahun 2007 yang melarang ekspor pasir laut, tanah dan top soil yang kemudian ditegaskan kembali dengan pelarangan ekspor seluruh bahan galian golongan C menunjukkan langkah politik pemerintah untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam pulau-pulau kecil dan keberlanjutan kehidupan nelayan di Kepulauan Riau," tutup Rostami.
Polemik ekspor pasir laut
Sebagai informasi, pemerintah membuka lagi keran ekspor pasir laut yang sontak menuai polemik di tengah masyarakat, dan tidak sedikit yang menolaknya.
Pembukaan kembali ekspor pasir laut diatur lewat Permendag 20/2024 dan Permendag 21/2024 yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Kebijakan ekspor pasir laut sebetulnya sudah 20 tahun lebih dilarang sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2002.
Namun, keran ekspor laut disebut dibuka lagi di ujung masa kepresidenan Joko Widodo (Jokowi).
Berdasarkan kebijakan tersebut, Jokowi membuka ruang kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut sebagai upaya pengendalian hasil sedimentasi di laut.
Belakangan Jokowi berdalih yang diekspor itu bukanlah pasir laut, melainkan hasil sedimentasi laut.