Pemerintahan yang lama juga telah pernah menyangkal, meski akhirnya mau mengakui 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM yang berat, termasuk Tragedi Mei 98.
“Kewenangan penentuan apakah sebuah peristiwa menurut sifat dan lingkupnya tergolong pelanggaran HAM yang berat sesuai Undang-Undang, bukan oleh presiden apalagi menteri. Tapi pengadilan HAM, setidaknya ditentukan pertama kali oleh Komnas HAM. Komnas pun harus membantah pernyataan Yusril dan mendesak penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Tragedi Mei 98 hingga tuntas,” tandasnya.
Penjelasan Yusril
Diberitakan sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa peristiwa 1998 bukan termasuk pelanggaran HAM berat.
Hal itu disampaikan Yusril di Istana Kepresidenan Jakarta pada Senin (21/10/2024).
"Enggak (pelanggaran HAM berat)," ujar dia.
Yusril mengatakan setiap tindak pidana merupakan pelanggaran HAM.
Namun menurutnya tidak semua pelanggaran HAM tergolong berat.
Menurut Yusril pelanggaran HAM berat tidak terjadi dalam beberapa tahun terkahir ini di Indonesia.
"Selama beberapa tahun terakhir tidak terjadi kasus pelanggaran HAM yang berat," kata dia.
Menurut Yusril, hal itu berbeda saat ia menjadi Menteri Hakim dan HAM periode 2001 sampai 2004 dulu.
Ia mengatakan saat itu telah tiga kali hadir di Jenewa, Swiss menjalani sidang komisi HAM PBB.
Indonesia saat itu, ungkapnya, ditantang menyelesaikan soal-soal besar terkait pelanggaran HAM.
"Pada waktu itu saya sudah membentuk pengadilan HAM, Adhoc, maupun pengadilan HAM konvensional. Jadi sebenarnya kita tidak menghadapi persoalan pelanggaran HAM yang berat dalam beberapa tahun terakhir," pungkas Yusril.