Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Ikrar Nusa Bakti masih berharap demokrasi pasca-Pilpres 2024 bisa tetap tumbuh dan tidak mati.
Ia berharap tetap ada orang - orang yang terus menghidupkan demokrasi di masa rezim pemerintahan baru hasil dari proses demokrasi yang tercederai.
Hal ini disampaikan Ikrar dalam acara peluncuran dan bedah buku berjudul ‘Dinasti Keong-Demokrasi Mati’ karya Titik Wijayanti, Purwandono dan Amos Apridawan, di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (28/10/2024).
“Mudah-mudahan, lagi-lagi mudah-mudahan, demokrasi tidak akan mati, mudah-mudahan akan ada terus orang-orang yang menyalakan soal itu,” kata dia.
Ikrar mengingatkan kepada publik untuk punya tanggung jawab kolektif dalam menjaga stabilitas dan kemajuan bangsa lewat partisipasi aktif memperjuangkan demokrasi serta menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ia berharap publik menyadari bahwa pentingnya menghidupkan demokrasi sebagai alat untuk memilih pemimpin yang baik. Pernyataan ini sekaligus mengajak publik bahwa demokrasi bukan sekadar proses formal, tapi juga merupakan tanggung jawab setiap warga negara.
Dengan kesadaran yang tinggi, diharapkan rakyat dapat berpartisipasi dalam mewujudkan masa depan yang lebih baik untuk bangsa.
“NKRI harus kita jaga, demokrasi harus kita perjuangkan, dan mudah-mudahan rakyat masih timbul kesadaran untuk menjadikan yang namanya demokrasi itu adalah suatu cara untuk memilih pemimpin yang baik,” ungkapnya.
Baca juga: Mengintip Aktivitas Menteri Jokowi yang tak Dipakai Prabowo: Urus Pesantren, Terbang ke Singapura
Sementara itu, penulis buku Dinasti Keong-Demokrasi Mati, Titik Wijayanti menyampaikan, karya tulisnya ini adalah sebuah catatan hitam dari demokrasi Indonesia.
Latar belakang penulisannya berangkat dari cerita seperti kancil versus buaya, cerita keong dan kaitannya dengan proses politik Pilpres 2024.
Lebih lanjut Titik menjelaskan, buku karyanya ini pada intinya membahas tentang cerita rakyat, tentang demokrasi yang mati, cawe-cawe dalam penyelenggaraan Pilpres 2024, dan harapan dari gerakan oposisi rakyat ke depan.
“Buku ini isinya tentang cerita rakyat, tentang demokrasi mati, cawe-cawe pilpres atau pemilihan presiden dan gerakan oposisi rakyat ke depan,” kata Titik.
Ia menegaskan, karya bukunya bukan ditujukan untuk mengolok-olok atau menjelek-jelekkan pihak tertentu. Melainkan haknya sebagai warga negara untuk menuliskan peristiwa sejarah supaya tidak begitu saja dilupakan atau hilang dihapus oleh penguasa.
“Saya sebagai penulis, saya bukan provokator atau saya ingin menjelek-jelekkan, ini terjadi di bangsa Indonesia, sebagai warga negara kita berhak menulis. Tulis dan terus menulis, peristiwa demi peristiwa agar tidak terhapus oleh siapa pun yang berkuasa,” tegasnya.
“Bukankah kebebasan menulis adalah hak setiap warga negara, sama halnya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Pilpres 2024,” pungkas Titik.