TRIBUN-VIDEO - Kasus guru honorer Supriyani yang diduga memukul siswa SD anak polisi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra) masih bergulir.
Upaya perdamaian antara guru Supriyani dengan Aipda WH selaku orang tua murid berbuntut panjang usai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Konawe Selatan membuat surat somasi.
Surat itu ditujukan kepada Supriyani lantaran guru honorer tersebut mencabut surat perdamaian yang telah disepakati.
Dalam surat tertulis, guru Supriyani dianggap mencemarkan nama baik Bupati Konawe Selatan selaku insiator proses perdamaian.
Kepala Bagian Hukum Pemkab Konawe Selatan, Suhardin, Kamis (7/10/2024), memberikan penjelasan resminya atas surat somasi yang dilayangkan kepada guru Supriyani.
Salinan penjelasan tertulis yang ditandatanganinya tersebut diterima TribunnewsSultra.com (Tribun Network) melalui Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika atau Kadiskominfo Konsel, Annas Mas’ud.
Berikut selengkapnya penjelasan resmi Suhardin dikutip dalam keterangan tertulis ‘PENJELASAN ATAS SOMASI’ itu:
Somasi adalah teguran, dalam hal ini adalah kepada Supriyani.
Tujuannya adalah memberikan kesempatan kepada Supriyani untuk berbuat sesuatu atau menghentikan suatu perbuatan sebagaimana diharapkan oleh Bupati Konawe Selatan,
dalam hal ini agar Supriyani mencabut pernyataannya terkait Pencabutan Kesepakatan Damai yang telah ditandatangani dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi.
Yang pada kesempatan tersebut secara tegas Supriyani menyatakan bahwa kesepakatan damai tersebut ia lakukan tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak manapun.
Proses perdamaian yang diinisiasi oleh bupati, tidak dimaksudkan untuk melakukan intervensi terhadap proses peradilan yang sementara berjalan.
Tetapi diharapkan bahwa kesepakatan damai tersebut dapat dijadikan alasan untuk meringankan hukuman atau menjadi pertimbangan tersendiri.
Bupati Konawe Selatan melakukan somasi karena telah dianggap melakukan intimidasi dan tekanan kepada Supriyani dalam kesepakatan damai tersebut.
padahal dalam hal ini Bupati Konawe Selatan sangat beritikad baik agar permasalahan ini dapat diselesaikan secara damai dan kekeluargaan.
Tapi nyatanya Supriyani malah berbalik arah dan tidak mau diselesaikan secara damai.
Sehingga apabila Bupati tidak melakukan somasi maka masyarakat akan menganggap bahwa benar Bupati telah melakukan intimidasi dan tekanan.
Selain itu, somasi yang dilakukan Bupati juga diharapkan agar Supriyani dapat berpikir secara jernih dan kembali kepada kesepakatan awal.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara damai dan kekeluargaan.
Sehingga tidak timbul riak-riak di dalam masyarakat dan akan tercipta kedamaian dan kondusifitas khususnya di Kecamatan Baito.
Penjelasan Cabut Surat Damai
Guru Supriyani sebelumnya mencabut kesepakatan damai bersama orang tua murid, Aipda WH, dan istri NF, yang dibuat dalam pertemuan bersama Bupati Konawe Selatan Surunuddin Dangga.
Pertemuan tersebut berlangsung di Rumah Jabatan atau Rujab Bupati Konsel, Andoolo, Selasa (6/11/2024).
Kuasa hukum guru Supriyani, Andri Darmawan, Rabu (07/11/2024), mengatakan, kliennya sudah mencabut kesepakatan damai karena tidak membaca dan tidak memahami isi surat perdamaiannya.
“Jadi sebenarnya kejadian kemarin itu pada prinsipnya kita sebagai manusia biasa, bahwa misalnya ada dari Bu Supri, dengan Pak Bowo untuk saling memaafkan supaya juga supaya adem dan tidak terlalu panas sebenarnya tidak soal,” katanya.
“Namun yang kita persoalkan di surat pernyataan yang dibuat itu yang tidak dibaca oleh Bu Supri dan tidak dipahami oleh Bu Supri, itu ada bahwa perdamaian itu untuk menghentikan proses hukum.”
“Bahwa kita ingin mendamaikan semua proses hukum yang sudah berjalan. Padahal itukan tidak bisa, tidak benar,” jelasnya.
Menurutnya, proses hukum kasus tersebut sudah berjalan.
“Dan kalaupun mau direstorative justice itu sudah lewat prosesnya karena kalau di Peraturan Mahkamah Agung, restorative justice itu hanya bisa dilakukan di persidangan pertama,” ujarnya.
“Itupun dengan syarat bahwa terdakwa tidak keberatan, kemudian juga bahwa terdakwa mengaku bersalah.”
“Nah inikan jelas, bahwa terdakwa tidak pernah melakukan pengakuan bersalah, sehingga kita mau damaikan apa?’ lanjutnya.
Sehingga, kata Andri, jika perdamaian dalam konteks sosial untuk saling memaafkan tidak ada masalah.
“Tapi kalau damai dalam konteks hukum itu tentu tidak bisa kita laksanakan. Proses yang sudah berjalan ini kita lalui, kita masing-masing pembuktian dan kita akan buktikan siapa sesungguhnya yang bersalah, Bu Supriyani kah atau tidak,” katanya.
“Dan kami berkeyakinan sampai pembuktian dalam sidang kami yakin Bu Supriyani tidak bersalah,” jelasnya.
Dengan demikian, surat pencabutan pernyataan damai itu dilakukan guru Supriyani agar tidak terjadi miss persepsi.
“Makanya surat yang dicabut itu supaya tidak mis di publik yah, karena ini berkembang setelah surat perdamaian itu, proses hukum itu akan diselesaikan secara damai. Oh Tidak,” ujarnya.
“Makanya Bu Supriyani langsung mencabut itu karena waktu dibuat kemarin dia tidak baca dan dia tidak pahami karena dia sudah memberikan itu kepada pengacaranya, Pak Samsuddin,” lanjutnya.
Makanya, kata Andri, terhadap pelanggaran yang juga dilakukan itu, dia mengambil langkah tegas terhadap pengacara yang mendampingi.
“Saya pecat karena itu dia tidak berkoordinasi dan juga tidak melakukan pendampingan dengan baik terhadap Bu Supriyani,” katanya.
“Termasuk redaksinya surat katanya dia yang buat tanpa koordinasi dengan kami selaku pimpinannya di provinsi,” jelasnya menambahkan.
Diapun kembali menegaskan pihaknya tidak mempermasalahkan niat pemerintah daerah yang ingin mendinginkan suasana dengan mempertemukan pihak terkait untuk saling berjabat tangan.
“Kita juga tentunya tidak mau menghalangi yang itu. Tapi bahwa itu kemudian diformulasikan dalam surat pernyataan misalnya, dan menyatakan proses hukum akan dihentikan itu yang salah,” ujarnya.
“Itu yang tidak bisa karena dari dulu kita sudah menolak hal itu. Kami tetap ingin agar perkara ini lanjut, supaya terang benderang mana yang hitam, mana yang putih,” lanjutnya.
Dengan demikian, pihaknya berkeinginan agar perkara tersebut tetap berlanjut melalui proses persidangan.
“Kalau kita tidak lanjutkan dalam proses persidangan dengan alasan kita sudah berdamai akhirnya kan tidak kelihatan mana yang hitam, mana yang putih, mana yang benar, mana yang salah,” lanjutnya.
“Karena tujuan kami di akhir apa, kalau Ibu Supriyani terbukti tidak bersalah, berarti kan ada yang salah melakukan rekayasa. Ada yang bersalah melakukan kriminalisasi.”
“Kami ingin mereka bertanggungjawab baik secara etik maupun pidana. Itu clear dari kami,” kata Andri menambahkan.
Dia pun mempertanyakan kenapa jelang persidangan hingga tahap sidang, berbagai pihak justru baru mau mendamaikan.
“Makanya ini kan menjadi pertanyaan kita. Kenapa dalam tahap persidangan baru semua orang seakan-akan menjadi tokoh perdamaian, duta perdamaian,” jelasnya.
“Yang dulu mana? Kenapa baru mau muncul sekarang sebagai duta perdamaian, tokoh perdamaian. Membawa pernyataan itu ke pengadilan, ya itu nggak ada gunanya,” ujarnya menambahkan.
Andri Darmawan pun mempertanyakan hal senada kepada keluarga korban yang belakangan ini baru getol berdamai.
“Makanya ini saya tanyakan kembali kepada keluarga korban, kok sekarang ini menjadi mulia sekali hatinya. Berinisiatif untuk datang damai, apa-apa semua,” katanya.
“Dulu-dulu waktu di tingkat penyidikan kepolisian luar biasa itu ibu, Lima kali ibu datang, ibu Supriyani bersama suaminya, datang menangis apa semua.”
“Diulur-ulur kasih saya waktu. Ini sekarang seakan-akan muncul yang paling inilah, tokoh perdamaian. Mulia sekali, ada apa? Setelah semua fakta-fakta terbuka di persidangan kenapa baru ingin muncul,” lanjutnya.
Diapun berharap semua pihak menunggu hasil putusan persidangan yang sudah bergulir di pengadilan.
“Jadi sekarang saya cuman ingin katakan hentikan semua orang yang mau menjadi juru damai. Tokoh damai. Hentikan itu, tidak ada gunanya lagi,” jelasnya.
“Kita tunggu saja fakta semua persidangan terbuka dan kita tunggu putusan. Selesai. Tidak usah ada lagi yang bertindak sebagai juru damai, tokoh damai,” ujarnya.
Respons PGRI Sulawesi Tenggara
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulawesi Tenggara menanggapi keputusan Pemda Konawe Selatan yang memberikan somasi ke Supriyani karena mencabut pernyataan surat damai.
Ketua PGRI Sultra, Abdul Halim Momo mengatakan, seharusnya surat somasi tidak perlu dilayangkan Pemda Konsel ke Supriyani.
Apalagi kondisi Supriyani sebagai guru honorer yang sudah mengabdi selama 16 tahun mendidik siswa di Konawe Selatan seharusnya tidak layak disomasi pemda.
"Saya kira akan menjadi preseden buruk nantinya karena disitu atas nama pemerintah daerah bukan bupati, mensomasi seorang guru honorer yang sudah mengabdi 16 tahun dengan gaji Rp300 ribu," ungkapnya saat dikonfirmasi, Jumat (08/11/2024).
Menurut Halim, seharusnya Pemda mengambil langkah untuk memaafkan Supriyani ketimbang memberikan somasi.
Terlebih kondisi yang saat ini dihadapi Supriyani sedang memperjuangkan haknya di hadapan hukum.
Tentunya keputusan Supriyani mencabut surat damai didasari adanya pertimbangan.
Selain itu pemda juga harus memahami kondisi saat ini dialami Supriyani setelah kasusnya bergulir di persidangan.
"Kalau menurut secara logika tidak mungkin seorang guru honorer bisa mengecewakan pemda atau bupati. Sehingga harus dilihat juga alasannya," kata Halim.
"Sehingga menurut saya somasi itu akan jadi preseden buruk, saya kira kalau memaafkan rakyatnya akan lebih mulia," lanjutnya.
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Halu Oleo Kendari ini menyampaikan PGRI akan terus memperjuangkan Supriyani bisa bebas dari kasus tersebut. (*)