Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekelompok dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) mengajukan perbaikan permohonan uji materi atas Pasal 3 ayat (1) huruf c dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka mempersoalkan larangan bagi advokat untuk merangkap jabatan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau pejabat negara.
Hal itu mereka anggap merugikan hak konstitusional dosen yang ingin menjadi advokat.
Dalam sidang perbaikan permohonan di Gedung MK, Jakarta, kuasa hukum pemohon, Mario Ari Leonard Barus menjelaskan perubahan ini mencakup perbaikan pada batu uji dan petitum permohonan.
“Mengenai pokok-pokoknya langsung ke batu ujinya terhadap hal-hal yang menjadi concern atau perhatian dalam pengujian ini,” ujar Mario, Senin (11/11/2024).
Sebagai informasi, para pemohon yang terdiri dari dua dosen FH UI, Djarot Dimas Achmad Andaru dan Ahmad Madison, serta mahasiswa FH UI, Salsabilla Usman Patamani, merasa dirugikan oleh ketentuan dalam UU Advokat.
Pemohon I dan II, yaitu Djarot dan Ahmad, mengeklaim bahwa pasal tersebut membatasi peluang mereka sebagai dosen PNS fungsional untuk menjadi advokat, meskipun mereka telah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat dan siap untuk dilantik.
Sementara itu, Pemohon III, Salsabilla, merasa haknya sebagai mahasiswa dirugikan karena mendapatkan pendidikan dari dosen yang tidak memiliki pengalaman sebagai advokat.
Para pemohon menyatakan kesempatan dosen PNS fungsional untuk berpraktik sebagai advokat penting karena pengalaman beracara langsung di pengadilan akan memberikan nilai tambah dalam kualitas pendidikan yang diterima mahasiswa.
Menurut Salsabilla, dosen yang memiliki pengalaman langsung di dunia persidangan bisa memberikan pandangan yang lebih nyata tentang praktik hukum daripada dosen yang hanya melakukan penelitian.
Perbaikan permohonan juga mencakup perubahan pada dasar pengujian konstitusionalitas pasal-pasal tersebut.
Para Pemohon mencabut Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sebagai batu uji dan menggantinya dengan Pasal 28C ayat (3) UUD 1945 untuk mendukung argumen mereka bahwa pembatasan ini menghambat pengembangan diri dan kebebasan akademis.