TRIBUNNEWS.COM - Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, dan mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, membagikan kisah persahabatan mereka yang sudah terjalin sejak menjadi menteri di era Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Dalam siniar yang ditayangkan di kanal YouTube Mahfud MD, ada dua kisah kebaikan Luhut yang diceritakan Mahfud.
Adapun kisah pertama ketika Mahfud terpaksa harus pensiun dini sebagai aparatur sipil negara (ASN) karena diminta oleh Gus Dur untuk masuk ke PKB.
Permintaan itu terjadi ketika dirinya sudah tidak lagi menjadi menteri karena Gus Dur dimakzulkan pada 2001.
Lantas, Mahfud mengaku biaya hidupnya hanya berasal dari mengajar sebagai dosen di Yogyakarta.
Saat ditanya Luhut, Mahfud mengatakan gajinya dari mengajar masih cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Namun, Luhut seakan tidak percaya dengan pengakuan Mahfud tersebut dan justru memberikannya uang untuk kebutuhan transportasi dari Yogyakarta-Jakarta dan pulsa.
Mahfud menyebut uang dari Luhut itu semata-mata agar dirinya dapat menemani Gus Dur di Jakarta.
"(Luhut bertanya) 'Pak Mahfud, kamu gimana biayanya?'. 'Lha ya, Pak, saya masih ngajar dan masih punya gaji yang cukup."
"Ndak, lah, ndak cukup, kamu. Tiap bulan saya dikirimi uang sama dia. Ini untuk tiket ke Jakarta dan ini untuk biaya pulsa telepon," katanya dalam siniar tersebut, dikutip pada Minggu (17/11/2024).
Baca juga: Beda Tanggapan Mahfud MD dan Susno Duadji soal Tuntutan Jaksa ke Supriyani, Benar vs Berantakan
Mahfud Dijadikan Komisaris saat Jadi Legislator agar Luhut Tetap Bisa Bantu
Tak cuma sampai disitu, Mahfud juga menceritakan kebaikan Luhut kepadanya saat sudah terpilih menjadi anggota DPR periode 2004-2009.
Ketika itu, Mahfud memberitahu Luhut terkait jabatan barunya tersebut. Pada kesempatan yang sama, dia meminta agar Luhut berhenti untuk memberikannya uang tiap bulan seperti sebelumnya.
Pasalnya, Mahfud bakal dinyatakan melanggar peraturan perundang-undangan lantaran dianggap uang dari Luhut adalah suap kepadanya.
"Tahun 2004, saya jadi anggota DPR, saya telepon 'Pak Luhut, saya sekarang anggota DPR, menurut undang-undang, saya tidak boleh menerima uang di luar gaji termasuk dari Pak Luhut'."
"(Luhut mengatakan) Lho, mengapa? Kan saya nggak urusan suap menyuap. Ini teman, mengapa?" (Mahfud menjawab) Nggak bisa, ini aturan undang-undangnya," jelasnya.
Luhut pun bertanya ke Mahfud agar tetap bisa membantunya tanpa melanggar peraturan perundang-undangan.
Kemudian, Mahfud mengatakan, jika dirinya turut bekerja di sebuah perusahaan swasta, maka gaji yang diterimanya sah dan tidak melanggar hukum.
Tak disangka, Luhut yang saat itu sudah menjadi pengusaha sukses, menjadikan Mahfud sebagai komisaris utama (komut) di perusahaan yang dibentuknya bernama PT Bangun Bejana Baja.
"Terus Pak Luhut membentuk perusahaan namanya PT Bangun Bejana. Saya jadi komisarisnya agar saya bisa diberi bantuan," tuturnya.
Namun, Mahfud memutuskan untuk berhenti ketika dirinya menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2008.
Kendati demikian, pada proses mundurnya Mahfud sebagai Komut PT Bangun Bejana Baja, Luhut masih tidak mau menerima.
Hanya saja, Mahfud menegaskan dirinya harus patuh terkait peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Luhut Utus 2 Prajurit saat Mahfud Jadi Ketua MK dalam Kasus 'Cicak vs Buaya'
Kebaikan Luhut pun masih terus dilakukan ketika Mahfud menjadi Ketua MK.
Adapun momen tersebut terjadi ketika bergulirnya perselisihan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri atau yang lebih dikenal sebagai 'Cicak vs Buaya'.
Mahfud mengungkapkan pada saat itu, dirinya memutuskan, pimpinan KPK ketika itu, Chandra Hamzah dan Bibit Samat Rianto, tidak bersalah dalam perkara dugaan korupsi.
Saat itu, ketika perkara ini bergulir, Mahfud menyebut seluruh pengawalnya dari Polri mengundurkan  sehingga dia sebagai pejabat negara tidak dikawal siapapun.
"Ketika saya jadi Ketua MK, saya kan ribut dengan Polri ketika kasus cicak buaya. Sampai pengawal-pengawal lari."
"Saya sendirian loh pejabat tinggi negara kemana-mana nggak ada yang ngawal," jelasnya.
Mahfud mengatakan secara aturan, seluruh pengawalnya itu seharusnya dipecat ketika menyatakan mengundurkan diri.
Namun, nyatanya kata Mahfud, pengawalnya yang berjumlah 12 orang itu tidak dipecat oleh Polri.
"Mereka mengundurkan diri ramai-ramai sebagai pengawal saya, penjaga rumah, penjaga kantor, pergi, 12 orang. Semua serentak mengundurkan diri ketika saya menyatakan Chandra Hamzah dan Bibit tidak bersalah," ujar Mahfud.
Baca juga: Bicara Kasus Tom Lembong, Mahfud MD: Penegakan Hukum kalau Pilih Kasih, Tajam ke Musuh, Bahaya
Lantas, Mahfud menceritakan kondisinya itu kepada Luhut lewat sambungan telepon.
Luhut pun terkejut mendengar cerita dari sahabatnya itu dan langsung mengutus dua pengawalnya dari Satuan Penanggulangan Teror (Gultor) Kopassus untuk mengawal Mahfud.
"Ya nggak benar juga masa Pak Mahfud digitukan. Ketua MK waktu itu. Nggak fair juga dong. Saya suruh pengawal saya pergi mengawal Mahfud," ujar Luhut pada kesempatan yang sama.
Setelah itu, Luhut langsung menelepon Kapolda DI Yogyakarta saat itu, Brigjen Harry Anwar bahwa apa yang dilakukan terhadap Mahfud tidaklah benar.
Dia merasa jengkel ketika pejabat tinggi negara seperti Mahfud seperti dihina dengan menarik seluruh ajudan dan pengawalnya yang dari Polri.
Kemudian, apa yang dialami Mahfud itu hanya terjadi dua hari saja. Pada saat itu, Polri langsung meminta kepada Mahfud dan siap memberikan pengawal terbaiknya kepada Mahfud.
"Setelah itu polisinya datang kepada saya dan meminta maaf. Lalu, nyuruh saya, pilih pengawal sekelas apapun, pilih saja," pungkas Mahfud.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)