TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan korupsi jual beli emas Antam dengan terdakwa "Crazy Rich" Surabaya, Budi Said, Selasa (19/11/2024).
Sidang kali ini menghadirkan ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Mohammad Priyono, yang memberikan keterangan terkait hasil audit investigatif yang dilakukan BPK dalam perkara tersebut.
Dalam keterangannya, Mohammad Priyono menjelaskan dirinya merupakan Ketua Tim BPK yang melakukan audit investigasi atas permintaan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri.
Audit tersebut dilakukan untuk menghitung kerugian negara terkait pengelolaan aset emas pada Butik Emas Logam Mulia Surabaya 01 milik PT Aneka Tambang (Antam) pada tahun 2018.
"Dasar penugasan kami berasal dari permintaan Ditipideksus Bareskrim Polri melalui surat tertanggal 28 Agustus 2019. Atas dasar itu, BPK melaksanakan investigasi dan menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Nomor 12/LHP/2021 tanggal 20 September 2021," ujar Priyono di hadapan majelis hakim.
Priyono memaparkan, hasil audit BPK yang mengidentifikasi kerugian negara mencapai 152,8 kilogram emas. Kekurangan ini ditemukan dalam stok opname di Butik Surabaya 01 pada 5 Desember 2018.
"Berdasarkan penghitungan ulang, stok fisik emas tidak sesuai dengan data pada sistem elektronik E-MAS PT Antam. Terdapat selisih 125 batang emas 1 kilogram dan 278 batang emas 100 gram yang tidak ditemukan di lokasi penyimpanan," jelasnya.
Dalam keterangannya, Priyono juga menyebutkan peran terdakwa Budi Said sebagai pihak yang diuntungkan dalam transaksi ini.
"Saudara Budi Said diduga membeli emas Antam melalui Eksi Anggraeni dengan harga di bawah harga resmi, serta menerima emas dalam jumlah melebihi faktur pembayaran. Selain itu, terdakwa memberikan insentif kepada Eksi Anggraeni untuk memfasilitasi transaksi ini," ungkapnya.
Ahli juga mengungkapkan adanya sejumlah penyimpangan yang menjadi dasar kerugian negara. Di antaranya yakni adanya transaksi fiktif dimana Eksi Anggraeni yang merupakan salah satu terdakwa, diduga melakukan kesepakatan tidak tertulis dengan pembeli untuk menjual emas di bawah harga resmi PT Antam.
Selain itu ada juga pemberian fasilitas Ilegal yang dilakukan oleh Kepala Butik Surabaya 01 dan staf lainnya yang menyerahkan emas kepada Eksi Anggraeni melebihi faktur pembayaran, sehingga menyebabkan kekurangan stok.
Dia juga menyebut adanya manipulasi data yang dilakukan saat laporan stok harian emas di Butik Surabaya 01 untuk menutupi kekurangan stok.
Priyono menegaskan, temuan ini didukung oleh bukti kuat berupa dokumen transaksi, laporan stok, serta hasil klarifikasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk terdakwa Budi Said.
"Kami juga melakukan konfirmasi langsung kepada terdakwa pada Desember 2019 dan Maret 2021, guna memastikan validitas data," tambahnya.
Adapun dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung mendakwa Budi Said atas dugaan korupsi terkait pembelian emas ANTAM dan tindak pidana pencucian uang.
Dalam dakwaannya, Budi Said diduga merekayasa transaksi pembelian 5,9 ton emas agar seolah-olah terlihat terdapat pembelian 7 ton emas dari BELM Surabaya 01.
Kasus ini menyebabkan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 1,16 triliun, yang terdiri dari Rp 92.257.257.820 pada pembelian pertama dan Rp 1.073.786.839.584 pada pembelian kedua.
Angka ini dihitung berdasarkan kekurangan fisik emas ANTAM di BELM Surabaya 01 dan kewajiban ANTAM untuk menyerahkan 1.136 kg emas kepada Budi Said sesuai Putusan Mahkamah Agung No.1666K/Pdt/2022 tanggal 29 Juni 2022.
Atas perbuatannya, Budi Said dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Subsidair Pasal 3 juncto Pasal 18 UU yang sama, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Baca juga: PT Antam Merugi Hingga Rp 1 Triliun Gara-gara Gugatan Emas 1,1 Ton Budi Said
Selain itu, Budi Said juga terancam pidana berdasarkan Pasal 3 atau Pasal 4 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar.