TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Usulan mengembalikan Polri di bawah Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menuai sejumlah penolakan.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyatakan tegas keberatan soal usulan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyatakan, dominan fraksi di komisinya tidak sepakat atas usulan Polri berada di bawah kewenangan Kemendagri.
Wacana mengembalikan Polri di bawah kendali TNI atau Kemendagri sebenarnya isu lama yang kini muncul lagi.
Usul itu mengemuka lagi setelah dilontarkan Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif, Deddy Sitorus.
Usulan itu muncul sebagai respons atas dugaan pengerahan aparat kepolisian untuk mempengaruhi hasil Pilkada serentak 2024 di sejumlah wilayah.
Deddy Sitorus menyebut pihaknya mempertimbangkan usulan Polri di bawah Kemendagri supaya tak ada intervensi dalam pemilu.
Politisi PDIP itu berharap usulan itu disetujui DPR RI agar tugas polisi juga direduksi sebatas urusan lalu lintas, patroli menjaga kondusifitas perumahan, dan reserse untuk keperluan mengusut dan menuntaskan kasus-kasus kejahatan hingga pengadilan.
Gagasan itu pun diperkirakan menemui jalan buntu.
Pasalnya, pemerintah maupun DPR menolak usulan tersebut.
Sejumlah pihak juga menganggap hal itu justru sebagai bentuk kemunduran dan mencederai semangat reformasi.
Sikap Kemendagri
Mendagri Tito Karnavian secara tegas menolak mentah-mentah usul itu.
Tito Karnavian mengatakan Polri tidak bisa dipisahkan dari presiden.
Ia tidak menjelaskan alasan rincinya keberatan.
Dia menegaskan Polri tidak bisa dipisahkan dari Presiden.
Ia menyebut sudah menjadi kehendak reformasi bahwa Polri di bawah presiden.
"Ya karena dari dulu memang sudah dipisahkan di bawah presiden, itu kehendak reformasi sudah itu saja," ujar Tito kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/12/2024).
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan wacana Polri di bawah Kemendagri harus melalui kajian terlebih dahulu.
Kajian itu ditempuh melalui proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, mengingat saat ini Polri masih bertanggung jawab langsung di bawah Presiden RI.
Bima menuturkan, perubahan itu harus dipertimbangkan masak-masak.
Sebab setiap perubahan akan berdampak pada keuangan negara.
Sikap Mabes TNI
Markas Besar (Mabes) TNI akhirnya angkat bicara mengenai wacana mengembalikan Polri di bawah kendali TNI, yang belakangan menjadi perdebatan hangat di tengah masyarakat.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen Hariyanto, menegaskan TNI menghormati setiap diskusi yang berkembang terkait perubahan struktur lembaga negara, termasuk soal Polri.
Namun, ia menekankan institusinya berpegang teguh pada Undang-Undang yang berlaku dan mengatur peran dan tugas masing-masing institusi.
Lebih lanjut, Hariyanto menjelaskan TNI dan Polri memiliki fungsi yang berbeda tetapi saling melengkapi.
Ia memastikan koordinasi antara kedua institusi berjalan baik, terutama dalam menjaga stabilitas keamanan nasional.
"Segala perubahan terkait struktur atau koordinasi antar lembaga merupakan kewenangan pemerintah dan DPR."
"Dan TNI akan mengikuti kebijakan sesuai keputusan resmi negara," kata Hariyanto saat dihubungi Tribunnews.com pada Minggu (1/12/2024).
Baca juga: Ramai-ramai Tolak Usulan Polri di Bawah Kemendagri/TNI, Pengamat Jelaskan Risiko
Respons Komisi III DPR RI
Penolakan usulan Polri dibawah kendali Kemendagri ataupun TNI itu juga disuarakan mayoritas fraksi di DPR RI.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan dari delapan fraksi, hanya PDIP yang menginginkan wacana itu. Artinya tujuh fraksi menolak usulan tersebut.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari NasDem, Ahmad Sahroni menilai perdebatan mengenai usulan itu sebagai hal sia-sia.
Ia menganggap, tudingan bahwa Polri tidak netral akan tetap ada dimanapun atau di bawah siapapun Polri berada.
NasDem Ungkap Alasan Menolak
Anggota DPR RI dari Fraksi NasDem, Rajiv tak setuju usulan PDIP agar institusi Polri dikembalikan di bawah institusi TNI atau Kemendagri.
Rajiv menilai, usulan tersebut menciderai semangat dan tujuan dari reformasi.
"Ya saya jelas sangat menolak usulan tersebut ya. Polri saat ini terus berusaha menjadi institusi yang profesional sebagaimana cita-cita dari reformasi," kata Rajiv, saat dikongfirmasi, Jumat (29/11/2024).
Menurutnya, Polri di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo terus bertransformasi mewujudkan Polri yang Presisi.
Rajiv menjelaskan, TNI-Polri dan pemerintah saat ini juga semakin menguatkan sinergisitas dan soliditas dalam rangka menjaga kedaulatan dan keamanan masyarakat.
"Jadi, jangan ada pernyataan atau usulan yang justru bisa berpotensi mengadu domba antara TNI-Polri maupun Pemerintah dalam hal ini, Kemendagri," ucapnya.
Dia menegaskan, personel Polri di seluruh Indonesia telah berjuang untuk menciptakan pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2024 berjalan aman, damai dan lancar.
"Kita bisa lihat contoh konkret di Pilkada 2024. Pelaksanaannya relatif aman dan damai. Tentunya hal itu tak lepas dari peran Polri yang terus bersinergi dengan TNI dan pihak terkait lainnya," tegas Rajiv.
Rajiv mengatakan, Polri saat ini terus berupaya memberikan pelayanan terbaik dan optimal kepada masyarakat.
PKS Tolak Usulan Polri di Bawah TNI atau Kemendagri
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS, Aboe Bakar Al-Habsyi, menolak usulan PDIP agar institusi Polri dikembalikan di bawah institusi TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Langkah tersebut merupakan bentuk kemunduran besar dan tidak sejalan dengan amanat reformasi Polri yang telah diperjuangkan," kata Aboe dalam keterangannya, Senin (2/12/2024).
Aboe mengatakan, Polri dipisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun 2000 dan Kemendagri tahun 1946 dengan tujuan menjadikannya lembaga yang mandiri dan profesional.
“Kita sudah pernah di bawah kemendagri, penah juga bareng dengan TNI. Jadi tak perlu kita mengulang masa lalu yang kurang baik," ujarnya.
Dia menyarankan sebaiknya dilakukan evaluasi mengenai dugaan keterlibatan oknum Polri dalam Pilkada secara proporsional.
“Jika memang terdapat persoalan terkait netralitas dan profesionalitas Polri, terutama dalam pelaksanaan Pilkada, maka hal tersebut seharusnya menjadi fokus evaluasi dan pembenahan," ucap Aboe.
Sekretaris Jenderal PKS ini berpendapat, menempatkan Polri di bawah TNI atau Kemendagri bukanlah sebuah solusi.
“Jika ada oknum yang berpolitik, memposisikan Polri di bawah Kemendagri bukanlah solusi. Wacana ini berisiko menempatkan Polri dalam potensi intervensi politik yang lebih besar," tegasnya.
Aboe Bakar mengajak seluruh pihak untuk menjaga semangat reformasi Polri dan tidak mengambil langkah mundur yang dapat mengganggu stabilitas hukum serta demokrasi.
“Polri adalah institusi negara, bukan alat pemerintah tertentu. Reformasi Polri harus terus diperkuat, bukan diputarbalikkan ke masa lalu," imbuhnya.
Sikap PAN
Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Saleh Partaonan Daulay tak sepakat sengan penggabungan kembali Polri dengan TNI maupun Kemendagri.
Dirinya menegaskan, pemisahan Polri dari TNI merupakan amanat reformasi.
Ia menjelaskan polisi di Indonesia memiliki tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat.
Polisi menggunakan kekuatan masyarakat sipil, sehingga kontek tugasnya bukan untuk berperang.
“Pemisahan kepolisian angkatan bersenjata, dalam hal ini TNI adalah amanat reformasi. Kita sudah melampaui banyak hal, maka saya kira masih bagus - bagus aja (tugas Polri),” kata Saleh, Senin (2/12/2024).
Terkait adanya kekurangan di tubuh Polri, Saleh menilai, hal itu jadi momen untuk introspeksi dan memperbaiki diri. Sebab, dalam tubuh Polri ada banyak instrumen dan sistem kelembagaan.
“Dalam kesatuan Polri banyak instrumen, ada sistem lembaganya kemudian, ada sistem kerjanya, kemudian ada juga orang orang bekerja di sana yang tentu memiliki cara bekerja yang mengimplementasikan kerja tidak sama. Kalau kurang ya diperbaiki,” tegasnya.
Soal adanya dugaan Polri membantu salah satu pasangan calon di Pilkada Serentak 2024, dia menyinggung mengenai mekanisme pelaporan. Bukan karena satu dua orang yang menyalahi ketentuan, kemudian digeneralisir satu institusi harus menanggung.
“Jadi jangan sampai ada kasuskasus yang kecil lalu malah justru menghilangkan peran besar Kepolisian. Saya dengar Pak Sigit itu udah menyatakan netral, dan tidak terlibat sama sekali. Saya kira itu poin penting,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 berjalan dengan tertib dan aman. Menurutnya kondusivitas ini jadi salah satu hasil kerja kepolisian yang dibantu peran masyarakat serta TNI.
“Dilaksanakan serentak dengan tingkat suhu politik berbeda-beda, tapi Alhamdulillah tidak ada kerusuhan, peran masyrakat dan kepolisian. Ini kepolisian sudah berhasil mengamankan tentu juga dibantu TNI. Keberhasilan ini jangan dipandang sebelah mata,” ujarnya.
Golkar Tak Setuju Polri Kembali di Bawah TNI atau Kemendagri
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Soedeson Tandra, tak setuju usulan PDI Perjuangan (PDIP) agar institusi Polri dikembalikan di bawah institusi TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Soedeson menegaskan bahwa langkah tersebut tidak sejalan dengan prinsip demokrasi modern dan semangat reformasi.
"Mengenai institusi polisi ditaruh kembali di bawah institusi TNI, ya jelas enggak setuju lah, enggak setuju," kata Soedeson, saat dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (29/11/2024).
Dia menjelaskan, hukum militer memiliki perbedaan mendasar dengan hukum sipil, sehingga tidak sesuai jika Polri ditempatkan di bawah institusi militer.
Soedeson juga menegaskan bahwa Polri adalah bagian dari eksekutif dan bertugas sebagai penegak hukum.
"Nah bagaimana dia taruh di bawah institusi militer. Itu kan enggak benar," ujar Wakil Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini.
Dia juga menolak usulan agar Polri berada di bawah Kemendagri. Menurutnya, fungsi polisi sebagai perpanjangan tangan presiden dalam penegakan hukum sangat berbeda dengan tugas Kemendagri yang fokus pada administrasi pemerintahan dalam negeri.
"Beda jauh, gitu lho. Jadi jangan dicampur aduk," ungkap Soedeson.
Soedeson menganggap, usulan tersebut bertentangan dengan semangat reformasi yang telah mengubah pemerintahan Indonesia menjadi pemerintahan sipil.
Dia mengingatkan agar permasalahan di tubuh Polri tidak diselesaikan dengan langkah-langkah yang keliru.
"Ada pepatah mengatakan kalau ada tikus di dalam lumbung padi, jangan padinya yang dibakar. Kan aneh. Tikusnya yang kita tangkap," ucap Soedeson.
Soedeson menambahkan, kalaupun ingin memperbaiki institusi Polri, makan yang dibuat adalah perkuat sistemnya.
"Nah kepolisian itu bukan seluruhnya jelek, jangan begitu. Kan ada juga yang baik. Nah yang harus kita dorong adalah perkuat sistemnya, perbaikan pendidikannya, dan lain sebagainya," tegasnya.
Baca juga: PAN Ingatkan Pemisahan Polri dari TNI Adalah Amanat Reformasi
PKB Minta Polri Koreksi Diri
Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid meminta institusi Polri mengoreksi diri usai munculnya istilah "Partai Coklat" (Parcok) atau penggunaan aparat kepolisian pada pemilihan umum (pemilu), baik pilpres, pileg, maupun pilkada.
"Kalau hari ini kemudian tidak dipercaya atau publik banyak dugaan berpolitik, ada sebutan parcok-lah, parpol-lah, itu menurut saya itu koreksi, harus didengar ini oleh institusi kepolisian," kata Jazilul kepada wartawan, Sabtu (30/11/2024).
Menurut Jazilul, ada kemungkinan istilah Partai Coklat tidak terbukti.
Namun, Legislator Komisi III DPR RI itu meminta Polri mengoreksi diri lantaran isu ini sering muncul.
"Bahkan saya pernah dengar langsung ada seorang kepala desa begitu untuk memenangkan tertentu itu dipanggil, ditakut-takuti dengan kasus. Katanya begitu yang disampaikan ke saya," kata dia.
Menurutnya, koreksi perlu dilakukan di internal agar ke depannya isu tersebut tidak menjadi kegaduhan publik.
"Hari ini mungkin bisa ditangani, suatu saat enggak bisa ditangani akan terjadi masalah. Lebih baik menurut saya koreksi saja secara internal perbaiki, lakukan evaluasi supaya tidak lagi berpolitik, ini domainnya partai-partai dan juga partai-partai jangan ditarik-tarik institusi itu menjadi institusinya partai," pungkas dia.
Namun, dia tetap menghormati profesionalitas kepolisian. PKB juga mengapresiasi jajaran kepolisian yang telah memastikan pilkada tahun ini berjalan lancar.
"Meskipun ada dugaan penggunaan aparat dan semacam dugaan-dugaan seperti itu, tetapi pada umumnya sukseslah kerja yang dilakukan kepolisian," ujarnya.
PBNU: Itu Artinya Kemunduran
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, Rahmat Hidayat Pulungan tidak setuju dengan usulan Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan TNI.
Menurutnya, ada sejumlah hal yang tidak sesuai dengan tugas Polri.
Rahmat menjelaskan, penempatan Polri di bawah TNI tidak bisa karena perbedaan bidang.
Baca juga: Mendagri Tito Karnavian Keberatan Ide Polri di Bawah Kemendagri
TNI di bidang pertahanan, dengan doktrin sistem pertahanan semesta. Sedangkan Polri di bidang Kamtibmas, dengan doktrin perlindungan, pelayanan dan pengayoman masyarakat.
“Kalau mau ditempatkan di bawah TNI, harus ada perubahan doktrin TNI seperti ABRI dulu dengan doktrin Sishankamrata. Namun itu artinya kemunduran dan berpotensi melanggar konstitusi,” katanya saat dihubungi.
Kondisi serupa juga terjadi bila Polri berada di bawah Kemendagri.
Dirinya menilai Polri sebagai penyelenggara pemerintahan di bidang keamanan, akan ada kesulitan dalam penyesuaian dengan ASN lainnya.
“Karena perbedaan tupoksi dan kekhususan lain, seperti kewenangan penggunaan kekerasan (enforcement) dan senjata api. Kemendagri juga sudah terlalu besar beban tugasnya saat ini,” tegasnya.
Penempatan Polri di Bawah TNI Disarankan Tidak Dilakukan
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea menyatakan tidak setuju terhadap gagasan menempatkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di bawah Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Andi Gani menolak dengan keras keinginan sebagian pihak yang ingin mengembalikan Polri di bawah TNI maupun Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
"Karena, Polri sudah berupaya untuk menjadi institusi yang baik sebagai penjaga keamanan, pengayom, pelindung masyarakat," kata Andi Gani di Jakarta, Minggu (1/12/2024).
Menurut Andi Gani, kinerja Polri sejauh ini sangat baik. Apalagi, jika berhubungan dengan buruh.
Polri telah menjadi jembatan yang baik bagi buruh untuk menyampaikan pendapatnya.
"Buruh dapat menyampaikan pendapat dengan aman tanpa ada tekanan apa pun dari aparat kepolisian," ujarnya.
Andi Gani meminta usulan itu perlu dicermati secara mendalam dan hati-hati mengingat posisi Polri melalui proses yang panjang dan kajian mendalam.
Selain itu, Andi Gani menilai, pentingnya menjaga profesionalisme, baik di tubuh TNI maupun Polri sebagai bagian dari kedewasaan negara.
"Langkah ke depan seharusnya memperkuat profesionalisme masing-masing institusi, bukan malah mencampuradukkan fungsi dan wewenang," jelasnya.
Andi Gani juga berpendapat di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat ini sangat baik.
Secara kelembagaan, kata dia, kepolisian sudah on the track dan semakin diterima baik oleh segenap lapisan masyarakat.
"Kami melihat di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, polisi mendapat kepercayaan masyarakat yang positif. Pilpres, Pileg, dan Pilkada serentak berjalan tertib, lancar, damai dan aman. Bila ada kekurangan mari diperbaiki. Kami yakin, Kapolri sangat terbuka akan hal itu," tuturnya.
Baca juga: Gagasan Reformasi Polri harus Konstitusional Bukan Emosional
Kata Aktivis: Semangat Reformasi Mundur
Aktivis Hak Asasi Manusia Usman Hamid memandang wacana mengembalikan Polri di bawah kendali TNI semakin memundurkan agenda reformasi jauh ke belakang.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia itu tugas TNI dan Polri sangat berbeda.
Menurut Usman, TNI dilatih, dididik, didanai, dan dipersenjatai sebagai alat negara di bidang pertahanan negara.
Sasaran TNI, kata dia, adalah ancaman nyata dari musuh luar negeri.
Sedangkan Polri, lanjutnya, dilatih, dididik, didanai, dan dipersenjatai sebagai alat negara di bidang keamanan.
Sasaran Polri, sambung Usman, adalah tantangan dalam negeri seperti pemeliharaan keamanan dan penegakan hukum.
Menurut Usman, cita-cita Reformasi mendasari pemisahan Polri dari TNI/ABRI.
Sehingga, lanjut Usman, integrasi kedua institusi tersebut akan membuat keduanya sama-sama tidak profesional.
Kata dia sekarang saja masih ada banyak kasus penyimpangan dari tugas pokok dan fungsi berbeda tersebut.
"Wacana itu jelas semakin memundurkan reformasi jauh ke belakang," kata Usman saat dihubungi Tribunnews.com pada Minggu (1/12/2024).
Usman juga pernah menyampaikan catatannya terkait 26 tahun reformasi pada Mei 2024 lalu.
Ia memandang saat itu reformasi telah berjalan putar balik setelah 26 tahun.
Usman mengatakan pada Selasa (21/5/2024) lalu, seharusnya menandai 26 tahun lahirnya era reformasi yang menjadi sebuah tonggak penting dalam sejarah Indonesia.
Namun, lanjut dia, kebebasan sipil yang diperjuangkan para mahasiswa dan masyarakat 26 tahun lalu justru kian terancam.
“Hal-hal yang diperjuangkan reformasi, seperti penegakan supremasi hukum, kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers, dan penghormatan HAM, termasuk pengusutan kasus-kasus pelanggaran berat, kini terasa kian jauh dari jangkauan," kata Usman.
"Reformasi putar balik. Alih-alih menjamin hak untuk mengkritik, dan mengontrol kebijakan, negara malah menyempitkan ruang sipil, mengabaikan cita-cita Reformasi," jelasnya.
Respons Polri
Polri hanya bungkam ketika mendapat tudingan "Parcok" maupun usulan dikembalikan ke TNI/Kemendagri.
Ketika ditanya mengenai dorongan PDI-P untuk mengembalikan Polri ke TNI atau Kemendagri, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta wartawan bertanya kepada yang mengusulkan.
"Tanya yang nanya," ujar Listyo, di kompleks Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah, pada Jumat (29/11/2024), saat acara wisuda Prabhatar Akademi TNI dan Akademi Kepolisian (Akpol).
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto yang hadir dalam acara tersebut juga memilih untuk tidak memberikan komentar dan mengikuti langkah Listyo.(*)
(Tribunnews.com/Fersianus Waku/Danang Triatmojo/Fahdi Fahlevi/Aphia/Malau)