TRIBUNNEWS.COM - Emha Ainun Nadjib juga dikenal dengan nama Muhammad Ainun Nadjib.
Emha Ainun Nadjib juga sering dipanggil Cak Nun atau Mbah Nun.
Cak Nun dikenal sebagai seniman, budayawan, ulama, penyair, cendekiawan, penulis, ilmuwan, sastrawan, filsuf, aktivis-pekerja sosial, pemikir, dan kyai.
Ragam dan cakupan tema pemikiran, ilmu, dan kegiatan Cak Nun sangat luas, seperti dalam bidang sastra, teater, tafsir, tasawwuf, musik, filsafat, pendidikan, kesehatan, Islam, dan lain-lain.
Bahkan tak sedikit yang mengatakan Cak Nun merupakan manusia multi-dimensi.
Pria kelahiran 27 Mei 1953 ini adalah seorang tokoh intelektual Muslim Indonesia.
Cak Nun merupakan anak keempat dari 15 bersaudara.
Budayawan asal Jombang ini pernah menikah dengan Neneng Suryaningsih pada 1978 dan berpisah pada 1985.
Kemudian Cak Nun menikah dengan Novia Kolopaking pada 1997 silam.
Cak Nun memiliki 5 anak.
Anak-anak Cak Nun yaitu Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe Letto) , Ainayya Al-Fatihah, Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, dan Anayallah Rampak Mayesha.
Baca juga: Sebulan di RSUP Sardjito, Ganjar Jenguk Cak Nun: Kondisinya Membaik, Kini Dirawat di Bangsal
Pendidikan
Emha Ainun Najib lulus dari pendidikan dasar di Jombang pada 1965.
Kemudian Cak Nun bersekolah di SMP Muhammadiyah di Yogyakarta.
Dilansir Tribunnewswiki, setelah lulus dari SMP Cak Nun sempat mengenyam pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo.
Namun Cak Nun tidak menamatkan pendidikannya di Gontor.
Cak Nun ‘diusir’ dari Gontor karena telah memimpin demonstrasi pada pertengahan tahun ketiganya di sana.
Emha Ainun Najib mendemo pimpinan pondok lantaran menilai sistemnya kurang baik.
Cak Nun lalu pindah ke Yogyakarta untuk sekolah di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta hingga akhirnya berhasil menamatkan pendidikannya di tahun 1971.
Intelektual Islam asal Jawa Timur ini sempat melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, usai ulus dari SMA.
Namun Cak Nun memilih untuk tidak menamatkan pendidikannya di UGM dan hanya berakhir di Semester 1.
Sepak Terjang
Cak Nun diketahui sempat hidup menggelandang selama 5 tahun.
Ayah Sabrang ini menggelandang sejak tahun 1970 hingga 1975.
Cak Nun belajar sastra kepada guru yang sangat ia kagumi, seorang sufi misterius, Umbu Landu Paranggi.
Umbu bahkan sudah berpengaruh cukup banyak dalam kehidupan Cak Nun.
Pada 1970, Cak Nun mengawali kariernya sebagai Pengasuh Ruang Sastra di Harian Masa Kini, Yogyakarta.
Kemudian Cak Nun melanjutkan kariernya menjadi wartawan dan redaktur di media yang sama di tahun 1973 hingga 1976.
Emha Ainun Nadjib pun dikenal aktif menulis puisi dan menjadi kolumnis di berbagai media.
Cendekiawan satu ini juga diketahui sudah menulis sekitar 30-an buku esai.
Setelah aktif sebagai wartawan dan redaktur, Cak Nun kemudian memimpin Teater Dinasti, Yogyakarta dan grup musik Kiai Kanjeng hingga sekarang.
Di Teater Dinasti. bersama Halimd HD, networker kesenian Sanggarbambu, Cak Nun juga menghasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama.
Karya-karya Cak Nun di antaranya Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan ‘Raja’ Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); serta Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
Cak Nun juga aktif bersama Teater Salahudin.
Bersama Teater Salahudin, Cak Nun telah memantaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun); Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya, dan Makassar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
Ia Juga mementaskan Perahu Retak pada 1992 tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram.
Cak Nun juga pernah mengikuti berbagai kegiatan seperti Lokakarya Teater di Filipina pada 1980 dan International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat pada 1984.
Pada tahun 1984, Cak Nun juga pernah mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda dan Festival Horizonte III di Berlin, Jerman pada 1985 (2).
Pada tahun 1990-an, Cak Nun menyelenggarakan acara Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki.
Kenduri Cinta sendiri merupakan forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan, dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender.
Sebelumnya Cak Nun juga hampir rutin berkeliling ke berbagai wilayah di Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri.
Dalam sebulan, rata-rata Cak Nun berkeliling sebanyak 10 sampai 15 kali bersama grup musik Kiai Kanjeng.
Hal ini ia lakukan di samping kegiatan rutinnya bersama komunitas masyarakat Padhangmbulan.
Dalam setiap pertemuan sosial itu, Cak Nun melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Meski telah mengisi berbagai pengajian di mana-mana, namun Cak Nun selalu menolak keras ketika dipanggil kiai.
Ia lebih senang ketika kehadirannya bersama sang istri, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi dan kelompok musik Kiai Kanjeng.
Dalam setiap pertemuan, pembicaraan yang ada sering sekali menyentuh permasalahan-permasalahan pluralisme di tengah masyarakat.
Cak Nun selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual.
Dalam hal pluralisme, menurut Cak Nun sendiri tidak ada yang perlu dipersoalkan dari adanya sebuah perbedaan.
Menurutnya, sejak zaman Kerajaan Majapahit perbedaan sudah ada. Namun hal itu tidak pernah menjadi persoalan. Masyarakat tetap bisa hidup rukun, saling berdampingan.
Dalam konteks agama, pluralisme bukan berarti menganggap semua agama itu sama.
“Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” kata Emha Ainun Najib seperti dimuat dalam biografiku.com.
Pandangan-pandangannya seperti menjadi oase yang menyegarkan hati dan pikiran. Terlebih di tengah suasana yang semakin memanas.
Di penghujung Orde Baru, menjelang lengsernya Presiden Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang dipanggil ke istana untuk dimintai nasihatnya.
Akhirnya Cak Nun berhasil membujuk Soeharto untuk bersedia melepaskan jabatannya sebagai presiden.
Bahkan kalimat Cak Nun, “Ora dadi presiden ora patheken” diadopsi oleh Soeharto ketika ia mengundurkan diri sebagai presiden.
Saat ini Emha Ainun Najib masih aktif mengisi pertemuan-pertemuan rutin seperti Kenduri Cinta, Macapat Syafa’at, Padhangmbulan, dan lain sebagainya.
Selain mengisi pengajian, ia juga masih aktif menulis. Selain dibukukan, tulisan-tulisannya juga dimuat dalam caknun.com.
Karya
Berikut adalah daftar buku karya Cak Nun :
Dari Pojok Sejarah (1985)
Sastra Yang Membebaskan (1985)
Secangkir Kopi Jon Pakir (1990)
Markesot Bertutur (1993)
Markesot Bertutur Lagi (1994)
Opini Plesetan (1996)
Gerakan Punakawan (1994)
Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996)
Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994)
Slilit Sang Kiai (1991)
Sudrun Gugat (1994)
Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995)
Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995).
Kemudian, Titik Nadir Demokrasi (1995)
Tuhanpun Berpuasa (1996)
Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997)
Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997)
berjudul Kiai Hologram (2018)
Pemimpin yang “Tuhan” (2018)
Markesot Belajar Ngaji (2019)
Beberapa buku puisi karyanya Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun :
“M” Frustasi (1976)
Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978)
Sajak-Sajak Cinta (1978)
Nyanyian Gelandangan (1982)
99 Untuk Tuhanku (1983)
Suluk Pesisiran (1989)
Lautan Jilbab (1989)
Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990)
Cahaya Maha Cahaya (1991)
Sesobek Buku Harian Indonesia (1993)
Abacadabra (1994)
Syair Amaul Husna (1994)
(TRIBUNNEWS.COM/Ika Wahyuningsih)