TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan merespons kritik sejumlah politisi PDIP terkait kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dari 11 persen menjadi 12% pada 1 Januari 2025.
Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang juga sebagai Ketua DPR mengatakan kenaikan PPN 12?pat memperburuk kondisi kelas menengah dan pelaku usaha kecil.
Lalu, Ketua DPP PDIP Ganjar Pranowo menyatakan kebijakan tersebut bisa membuat ngilu kehidupan rakyat.
Menurut Heri, kenaikan PPN 12% merupakan tanggung jawab PDIP yang kala itu menjadi pimpinan pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Politisi yang akrab disapa Hergun itu menyatakan, dasar kenaikan PPN adalah Pasal 7 Ayat (1) UU HPP yang menyatakan tarif PPN sebesar 11?rlaku 1 April 2022 dan tarif 12?rlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
“Berdasarkan ketentuan UU HPP, kenaikan tarif PPN dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama sudah dilakukan pada 2022. Waktu itu PDIP paling bersemangat menyampaikan kenaikan PPN dan bahkan mau pasang badan. Sehingga aneh menjelang pemberlakukan tahap kedua, PDIP berpaling muka dan mengkritik dengan keras,” kata Hergun melalui keterangannya, Minggu (22/12).
Lebih lanjut, mantan anggota Panja UU HPP itu menjelaskan bahwa pembahasan tingkat I UU HPP dilakukan di Komisi XI DPR. Waktu itu yang menjabat sebagai Ketua Panja adalah kader PDIP Dolfi. Selain itu, sebagai partai terbesar di DPR, PDIP juga mengirim anggotanya paling banyak di Panja.
“Pembahasan di tingkat I terbilang lancar. Hampir semua fraksi menyatakan persetujuannya terhadap UU HPP. Lalu, pembahasan dilanjutkan pada tingkat II yaitu di Rapat Paripurna DPR RI. Konfigurasinya tidak berbeda. Perlu diketahui, waktu itu Ketua DPR juga dijabat oleh kader PDIP Puan Maharani,” jelasnya.
Hergun menyatakan, pembentukan UU HPP sejatinya bertujuan memperkuat fondasi fiskal dan meningkatkan tax ratio Indonesia. Sebagaimana diketahui, tax ratio Indonesia tercatat masih lebih rendah dibanding negara-negara lain.
“Pada 2021 tax ratio Indonesia tercatat sebesar 10,9%. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata 36 negara Asia Pasifik yang sebesar 19,3%. Tax ratio Indonesia juga tercatat lebih rendah 22 poin persen dibanding negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dengan rata-rata 34%,” jelas Hergun.
Hergun juga menjelaskan bahwa berdasarkan catatan OECD, penerimaan pajak Indonesia masih didominasi pajak penghasilan (PPh) yaitu sebesar 5,1?ri PDB, disusul pajak pertambahan nilai (PPN) yaitu sebesar 3,4?ri PDB, dan terakhir dari cukai sebesar 1,6?ri PDB.
“Melihat kondisi tersebut, muncul kesamaan pandangan di kalangan anggota Panja untuk menyetujui kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022 dan 12% pada 2025. Dan sebagaimana kita ketahui bersama, kenaikan tahap pertama yaitu dari 10% menjadi 11% sudah berlaku pada 2022,” jelasnya.
Ketua DPP Partai Gerindra itu menyatakan, kenaikan tarif PPN juga sudah dilakukan dengan mempelajari dan membandingkan tarif PPN di negara-negara lain.
“Misalnya, Brazil dengan tarif PPN 17% tax ratio-nya mencapai 24,67%, India dengan tarif PPN rata-rata 18% memiliki tax ratio 17,33%, dan Filipina dengan tarif PPN 12% tax rationya 15,61%. Kemudian Afrika Selatan dengan tarif PPN 15% memiliki tax ratio 21,4%, Turki dengan tarif PPN 20% tax rationya 16,4%, dan Meksiko dengan tarif PPN 16% tax rationya 14,49%,” jelasnya.
Hergun lalu mempertanyakan sikap PDIP yang berubah 180 derajat. Seharusnya PDIP konsisten dengan sikapnya sejak di Panja Komisi XI, Rapat Paripurna DPR RI, hingga pemberlakuan kenaikan PPN tahap pertama pada 2022.
“Menjelang pemberlakukan kenaikan PPN tahap kedua pada 2025, PDIP berpura-pura membela rakyat. PDIP mengkritik keras kebijakan yang dulu dibuatnya. Sikap ini menunjukkan sikap sejati PDIP sebagai oportunis,” jelas Hergun.
Hergun melanjutkan, pemberlakuan kenaikan tahap kedua, bertepatan dengan masa-masa awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Sebagaimana diketahui bersama, di hadapan sidang MPR, Presiden Prabowo Subianto sudah bersumpah untuk menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.
“Kondisi ini tentunya dilematis. Namun sesuai sumpahnya, Presiden Prabowo akan tetap menjalankan ketentuan UU HPP. Namun, di sini kami perlu tegaskan, kenaikan PPN 12% hanya akan diberlakukan terhadap barang-barang yang dianggap mewah yang dikonsumsi oleh orang-orang yang mampu,” jelasnya.
“Presiden Prabowo selalu memikirkan kondisi rakyat kecil agar tidak terdampak kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%. Barang-barang kebutuhan rakyat kecil dibebaskan dari PPN atau 0%. Selain itu, Pak Prabowo juga sudah menyiapkan sejumlah bantuan kepada rakyat kecil agar tetap terjaga daya belinya,” lanjutnya.
Hergun meyakinkan kepada rakyat Indonesia, barang-barang yang dikonsumsi oleh rakyat kecil akan dibebaskan dari PPN, seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, gula konsumsi, pendidikan, kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rusunami, listrik, dan air. Itu semuanya PPN-nya adalah 0%.
“Pemerintah juga sudah menyiapkan sejumlah insentif untuk rumah tangga berpenghasilan rendah dan untuk menjaga daya beli. Paket insentif tersebut antara lain berupa bantuan beras/pangan, diskon biaya listrik 50% selama 2 bulan, serta insentif perpajakan seperti, perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5 persen untuk UMKM, Insentif PPh 21 Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk industri padat karya, serta berbagai insentif PPN dengan total alokasi mencapai Rp265,6 triliun untuk tahun 2025,” jelasnya.
Hergun berpandangan, para politisi seharusnya menunjukkan keteladanan dan konsistensi perjuangan. Sikap PDIP yang berubah 180 derajat bisa dipandang sebagai sikap oportunis yang memanfaatkan panggung demi menaikkan pencitraan.
“Sebaiknya PDIP mengambil sikap tegas sebagai oposisi terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Apalagi PDIP sudah memiliki pengalaman 10 tahun menjadi oposisi pemerintahan SBY. Dengan demikian, konfigurasi politik di parlemen akan menjadi jelas, siapa pendukung pemerintah dan siapa yang oposisi. Tidak seperti sekarang, PDIP terkesan menjadi partai yang tidak bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuatnya,” pungkasnya.
Baca juga: PDIP Kritik PPN 12 Persen, Elite PKB: Kalau Keberatan Silakan Ajukan Judicial Review ke MK
Dampak Kenaikan PPN Jadi 12 Persen Menurut Ekonom
Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai pengecualian barang pangan kena PPN sebenarnya bukanlah hal baru. Dikatakan, pengecualian barang pangan telah diatur sejak UU Nomor 42 Tahun 2009 sebelum lahirnya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan 2021.
"Dan, faktanya, kenaikan tarif PPN ini tetap akan dikenakan pada sebagian besar kebutuhan masyarakat menengah ke bawah," ungkap ekonom tersebut dalam keterangan tertulis yang dikirim kepada Kompas.com pada Senin (16/12/2024). Lantas, apa dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen per tahun depan?
CELIOS memperkirakan, kenaikan PPN menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 berisiko memicu inflasi yang tinggi pada tahun depan. Berikut dampak kenaikan PPN 12 persen yang bisa dirasakan oleh masyarakat:
1. Pengeluaran bertambah
Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, membeberkan potensi kenaikan inflasi pada tahun depan dapat menambah tekanan ekonomi, khususnya bagi kelompok menengah ke bawah.
"Kenaikan PPN menjadi 12 persen menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp 101.880 per bulan, memperburuk kondisi ekonomi mereka," katanya.
Sementara itu, kelompok kelas menengah ke atas berpotensi mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 354.293 per bulan.
Menurut Wahyudi, hal ini akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan.
2. Kenaikan harga komoditas masyarakat
Ia juga tak sepenuhnya setuju dengan pernyataan pemerintah terkait semua barang pokok dikecualikan PPN. Wahyudi mengatakan, kebijakan pengecualian tersebut sebetulnya sudah ada sejak 2009.
"Kenyataannya, PPN tetap naik untuk hampir semua komoditas yang dikonsumsi masyarakat bawah," ujarnya.
3. Kenaikan harga peralatan elektronik
Menurut Bhima, dampak berikutnya dari kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah harga peralatan elektronik dan suku cadang kendaraan bermotor yang ikut naik.
Wahyudi berpendapat, pemerintah kurang tepat apabila membandingkan kenaikan PPN di Indonesia dengan negara lain seperti Kanada, China, atau Brasil yang menerapkan PPN lebih tinggi.
Menurutnya, PPN yang diterapkan di negara dengan pendapatan per kapita tinggi dan ekonomi yang stabil itu tidak memengaruhi daya beli masyarakat.
4. Kenaikan PPN tak menambah pendapatan pajak
Bhima menambahkan, kenaikan PPN 12 persen tidak akan berkontribusi banyak terhadap penerimaan pajak.
"Hal itu terjadi karena efek pelemahan konsumsi masyarakat, omset pelaku usaha akan mempengaruhi penerimaan pajak lain, seperti PPh badan, PPh 21, dan bea cukai,” ungkapnya
5. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga negatif
Sementara itu, Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda dampak kenaikan tarif PPN per 2025 justru akan membuat pertumbuhan konsumsi rumah tangga menjadi negatif.
"Ketika tarif PPN di angka 10 persen, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 5 persen-an. Setelah tarif meningkat menjadi 11 persen terjadi perlambatan dari 4,9 persen (2022) menjadi 4,8 persen (2023). Diprediksi tahun 2024 semakin melambat,” kata Huda, masih dari sumber yang sama.
Secara penerimaan negara, Huda melanjutkan, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen juga tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan.
Namun, dampak psikologisnya terhadap daya beli masyarakat dan dunia usaha justru berpotensi lebih besar. Data pertumbuhan pengeluaran konsumen untuk Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) yang hanya naik 1,1 persen. Hal ini menunjukkan daya beli masyarakat masih lemah.
Terakhir, Huda menyampaikan, kenaikan tarif PPN 12 persen hanya akan memperburuk situasi, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.