Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa Heru Hanindyo mengajukan eksepsi atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum terima gratifikasi dari vonis bebas perkara Gregorius Ronald Tannur.
Adapun hal itu terkait surat-surat berharga miliknya yang disita oleh Kejaksaan yang dijelaskannya tak ada kaitannya dengan perkara di persidangan.
“Dari penasihat hukum saudara Heru, ada keberatan terhadap formalitas surat dakwaan?” tanya hakim Teguh Santoso di persidangan PN Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (24/12/2024).
Kemudian dikatakan kuasa hukum Heru Hanindyo bahwa surat keberatan akan disampaikan secara tertulis.
“Untuk keberatan formalitas akan kami sampaikan Yang Mulia secara tertulis pada sidang berikutnya. Tapi pada prinsipnya kami akan menganjurkan keberatan dan eksepsi terhadap dakwaan yang sudah disiapkan oleh penuntut umum,” jelas kuasa hukum
Setelah dipastikan ada keberatan, terdakwa Heru Hanindyo lalu menyampaikan poin keberatannya atas dakwaan JPU terhadap dirinya.
“Selain dari pada hal yang tadi disampaikan oleh penasihat hukum, ada hal yang ingin saya sampaikan bahwa terhadap dakwaan akumulatif dari penuntut umum, disitu adalah yang bersumber dari SDB. SDB itu merupakan peninggalan dari orang tua yang diatasnamakan berdua sebagai ahli waris kepada kedua anak laki-laki, yaitu saya dan kakak saya Arief Budi Harsono,” kata terdakwa Heru Hanindyo di persidangan.
Ia melanjutkan penyidik membuka SDB kemudian tanpa memberitahukan bahwa di dalamnya itu adalah ada surat-surat kepegawaian dari orang tua. Serta surat-surat kepegawaiannya, ijazah satu keluarga, orang tua, kakak dan dirinya.
Kemudian dijelaskannya SDB tersebut juga berisi surat-surat tanah harta waris termasuk uang yang disebutkan.
“SDB itu adalah murni semuanya adalah harta waris dan sisanya tidak diberikan kepada kami. Surat-surat tanah, ijazah, perhiasan orang tua, demikian yang mulia. Sekiranya bisa ditekankan para penuntut umum untuk mengembalikan karena itu semuanya adalah budel waris yang belum dibagi waris,” pintanya.
Didakwa Terima Suap Rp 1 Miliar dan SGD 308 Ribu Atas Kasus Vonis Bebas Ronald Tannur
Tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang vonis bebas terpidana Ronald Tannur menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (24/12/2024).
Dalam sidang perdana tersebut ketiga Hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo didakwa telah menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000 atau Rp 3,6 miliar terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur.
Uang miliaran tersebut diterima ketiga hakim dari pengacara Lisa Rahmat dan Meirizka Wijaja yang merupakan ibu dari Ronald Tannur.
"Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, berupa uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000," ucap Jaksa Penuntut Umum saat bacakan dakwaan.
Pada dakwaannya, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyebut bahwa uang miliaran itu diterima para terdakwa untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur.
"Kemudian terdakwa Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul menjatuhkan putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dari seluruh dakwaan Penuntut Umum," ucapnya.
Lebih lanjut Jaksa menuturkan, bahwa uang-uang tersebut dibagi kepada ketiga dalam jumlah yang berbeda.
Adapun Lisa dan Meirizka memberikan uang secara tunai kepada Erintuah Damanik sejumlah 48 Ribu Dollar Singapura.
Selain itu keduanya juga memberikan uang tunai senilai 48 Ribu Dollar Singapura yang dibagi kepada ketiga hakim dengan rincian untuk Erintuah sebesar 38 Ribu Dollar Singapura serta untuk Mangapul dan Heru masing-masing sebesar 36 Ribu Dollar Singapura.
"Dan sisanya sebesar SGD30.000 disimpan oleh Terdakwa Erintuah Damanik," jelas Jaksa.
Tak hanya uang diatas, Lisa dan Meirizka diketahui kembali memberikan uang tunai kepada terdakwa Heru Hanindyo sebesar Rp 1 miliar dan 120 Ribu Dollar Singapura.
"Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili," kata dia.
Akibat perbuatannya itu ketiga terdakwa pun didakwa dengan dan diancam dalam Pasal 12 huruf c jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Adapun terkait perkara Ronald Tannur sebelumnya diberitakan, Majelis hakim di PN Surabaya dalam amar putusannya menyatakan, Gregorius Ronald Tannur dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan maupun penganiayaan yang menyebabkan tewasnya Dini.
Ronald juga dianggap masih berupaya melakukan pertolongan terhadap korban di saat masa-masa kritis dibuktikan dengan upaya Ronald membawa korban ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
Untuk itu, Ronald dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dalam dakwaan pertama pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP Atau ketiga Pasal 359 KUHP dan 351 ayat (1) KUHP.
Majelis hakim kemudian membebaskan Ronald dari segala dakwaan jaksa penuntut umum di atas dalam sidang pada Rabu (24/7/2024).
Vonis tersebut pun menuai kecaman baik dari masyarakat maupun anggota DPR.
Komisi III DPR pun sempat menggelar rapat bersama keluarga korban untuk mendengar kesaksian dari keluarga korban.
Kemudian ketiga hakim itu saat ini didakwa pengadilan PN Tipikor Jakarta Pusat telah menerima gratifikasi atas vonis bebas tersebut.